Wednesday, 30 December 2015

Value Based Leadership: Sebuah Journey Menuju Penciptaan Karakter Seorang Pemimpin yang Memiliki Nilai Manfaat



“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
“sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
Al-Insyirah (QS.94: 5-6)

Life is a school and you are here to learn. Problems are simply part of the curriculum and fade away like algebra class but the lessons you learn will last lifetime (Daily Health Gen by Life Hacker India)


Perjalanan hidup merupakan journey yang menjadi faktor utama terbentuknya karakter seorang pemimpin. Pendidikan, pengalaman, budaya, keluarga, dan organisasi merupakan faktor-faktor yang berperan besar dalam proses pengembangan keyakinan seseorang. Semua itu menjadi satu paket “experiential learning” yang akan sangat mempengaruhi proses pembentukan karakter seorang pemimpin yang memiliki value yang baik atau malah sebaliknya.

Keyakinan terhadap konsep manfaat diri itu berkaitan dengan "rasa". Oleh karena itu, pengenalan terhadap "rasa" atau "kenikmatan" menjadi pribadi yang bermanfaat hanya dapat diperoleh dengan “mengalami”.  Meyakini sebuah "rasa" tidak cukup hanya dengan mendengarkan “ceramah”, tetapi harus ada suatu proses pembuktian. Hal itu dikarenakan nilai diri bukan hanya sebuah jargon yang diperoleh dari proses pemikiran atau kognitif, tetapi hasil dari proses pemahaman yang panjang berdasarkan pengalaman hingga tertanam di alam bawah sadar seseorang.

Lika-liku kehidupan yang serba sulit kadang menjadikan seseorang tumbuh dengan kemampuan problem solving yang baik. Selain dituntut untuk tegar, keharusan keluar dari masalah membuat seseorang terbiasa untuk peka dalam membaca masalah dan mencari jalan keluar. Kemampuan mencari informasi yang berguna (information seeking) dalam setiap situasi yang sulit juga terbentuk seiring dengan berjalannya waktu. Kesulitan juga menuntut seseorang untuk sadar bahwa dirinya membutuhkan orang lain sehingga ia harus menjadi pribadi yang mudah bergaul dan menyenangkan orang lain.

Sebagaimana kisah percobaan atas kepompong kupu-kupu dengan cara membelah kepompong untuk membantu kupu-kupu agar bisa keluar dengan mudah. Jika kepompong dibelah sebelum waktunya, maka kupu-kupu tersebut justru mati. Pun ketika dibelah pada waktu alamiahnya, yaitu pada hari ke-21, kupu-kupu tidak dapat ber-metamorfosis ke bentuknya yang paling sempurna. Sayapnya kecil dan rapuh sehingga kupu-kupu tersebut tidak dapat bertahan hidup lama. Rahasianya adalah adanya kesulitan yang membawa manfaat besar dalam proses keluarnya kupu-kupu dari dalam kepompong. Rupanya, untuk berubah dari ulat menjadi kupu-kupu ia harus mengorbankan dirinya dengan menghancurkan tubuhnya menjadi cairan yang justru menjadi nutrisi bagi embrio kupu-kupu. Kesakitan yang dialami oleh sang kupu-kupu harus dialami sampai "tuntas" hingga ia memiliki cakar yang kuat untuk merobek bagian ujung  kepompong pada saat ia mau keluar. Terbentuknya cakar itu merupakan tanda bagi kupu-kupu bahwa sayapnya telah terbentuk dengan sempurna dan ia siap untuk mengarungi kehidupan barunya dalam bentuk yang lebih indah dari bentuk asalnya. Demikianlah, alam mengajarkan kepada kita bahwa di balik kesulitan ada kemudahan.

Untuk belajar tentang nilai manfaat kehidupan, sebagian orang malah “menciptakan kesulitan” dalam hidup mereka sendiri. Mengabdikan diri untuk melakukan hal-hal yang sulit justru menjadi pilihan hidup. Mengajar atau menjadi tenaga kesehatan di desa pedalaman merupakan sebagian bentuk pilihan bagi mereka yang berusaha mencari makna hidup daripada uang. Demikian tulisan Prof. Renald Kasali yang berjudul “Mereka Cari Jalan Bukan Uang”. Dalam tulisan itu, beliau menceritakan kisah orang-orang yang lebih mendahulukan untuk mencari “meaning” ketimbang uang justru sukses pada akhirnya. Tentu saja sukses yang penuh makna dan lebih langgeng karena karakter pribadi yang bermanfaat begitu melekat pada dirinya, sehingga kesuksesan yang diraih tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu.

Pengalaman hidup seseorang dapat membawanya kepada penemuan bahwa untuk keluar dari masalah adalah justru dengan membantu orang lain. “more you give… more you get” demikian menurut pepatah asing. Ajaran agama Islam menegaskan “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya” (QS. 99:7). Dalam ajaran agama Nasrani juga ada hukum “tabur tuai”, dan dalam ajaran agama Hindu ada “hukum karma”. Bahkan Islam mengajarkan ketika seseorang ditimpa kesulitan, ia disarankan untuk bersedekah, jika mungkin dengan harta yang paling dicintai. Ini mirip rumus pertahanan dalam sepakbola yang menyatakan bahwa menyerang adalah cara bertahan yang paling baik.

Semua hukum itu menegaskan bahwa “memberi” adalah jalan yang terbaik untuk memperoleh jalan keluar. Jika hal itu dilakukan dalam kurun waktu yang lama, maka hal tersebut akan menjadi kebiasaan yang kemudian berbuah karakter diri yang senantiasa senang memberi manfaat. Proses “mengalami” adalah jalan menuju kepada keyakinan. Jika di masa depan orang tersebut menjadi pemimpin, dapat dipastikan ia akan menjadi pemimpin yang amanah dan senantiasa senang memberi manfaat kepada siapa saja yang menjadi “urusannya”. Inilah makna dari value based leadership, yaitu memimpin orang lain dengan tetap berpegang teguh pada keyakinan sang pemimpin. Pemimpin yang memiliki prinsip manfaat tidak dapat ditawar atau dipengaruhi nilai-nilai fundamental orang lain.

Seorang pemimpin yang memiliki  nilai diri selalu memimpin dengan hati, bermanfaat bagi orang lain, tanpa pamrih,  dan tidak mengutamakan kekuasaan, uang, status, atau ketenaran. Hal-hal yang dilakukannya tidak selalu harus canggih atau sophisticated, malah mungkin sesuatu yang sederhana tetapi bernuansa manfaat yang besar. Kepedulian seorang pemimpin akan membawanya untuk mampu mencari jalan keluar bagi masalah atau kesulitan yang dihadapi suatu organisasi atau masyarakat. Cara yang dipilih selalu berpijak pada nilai diri sang pemimpin. Ia tidak selalu mengandalkan uang atau materi untuk menciptakan inovasi yang cerdas. Pengalamannya dalam menyelesaikan masalah hidupnya di masa lalu menjadi energi atas etos kerjanya sehingga ia mampu tampil sebagai pemenang tanpa harus keluar dari nilai yang menjadi pegangannya.

Pernyataan nilai diri seseorang dapat bermacam-macam bentuk dan caranya. Namun, semua terangkum dalam satu kata, yaitu manfaat diri untuk orang lain. Tokoh-tokoh dunia berikut adalah contohnya. 

  • Mahatma Gandhi - keyakinan utamanya tentang cara-cara non kekerasan untuk mencapai manfaat berupa kemerdekaan.
  • Ibu Teresa - Dikenal dengan sumpahnya yang tak tergoyahkan untuk senantiasa membantu dunia yang membutuhkan. Ibu Teresa berjuang untuk orang miskin, orang sakit, yatim, dan orang yang sedang sekarat sekalipun.
  • Martin Luther King, Jr - pemimpin gerakan hak-hak sipil berdasarkan keyakinannya atas persamaan ras melalui langkah-langkah damai.
  • Nelson Mandela - Seorang mantan Presiden Afrika Selatan yang berjuang untuk mengakhiri praktek Apartheid dan membawa demokrasi ke Afrika Selatan.
Pada akhirnya, nilai diri seorang pemimpin itu harus wujud dalam tindakan. Untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Harry Jensen Kramer Jr. dalam bukunya yang berjudul “From Values to Action: The Four Principles of Values-Based Leadership”, ada empat ciri penting dari seorang pemimpin berbasis nilai.

  1. Self-reflection adalah sifat yang diperlukan bagi seseorang untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi nilai-nilai fundamental-nya. Ia harus menyadari bagaimana pengalaman, pendidikan, prioritas, keyakinan, dan nilai-nilai mempengaruhi cara bagaimana dia membuat keputusan, memimpin orang lain, dan menangani konflik. Aktivitas Self-reflection akan meningkatkan pemahaman seseorang tentang dirinya sendiri.
  2. Balance atau keseimbangan diukur dari kemampuan seseorang untuk melihat situasi dari perspektif yang berbeda. Ia harus tetap berpikiran terbuka dan mempertimbangkan semua pendapat sebelum membuat keputusan atau mengevaluasi suatu situasi atau kondisi. Sifat ini juga berarti ia mampu mencapai tingkat keseimbangan yang sehat antara kerja dengan hidup sehingga dapat menjadi contoh bagi orang lain untuk mengikuti jejaknya.
  3. Self-confidence atau kepercayaan diri sangat penting bagi para pemimpin untuk benar-benar percaya pada diri mereka sendiri. Pemimpin harus mampu mengidentifikasi area kekuatan dan kelemahan sambil terus meningkatkan kemampuan mereka. Pemimpin yang memiliki kepercayaan diri justru sekali-kali meminta bantuan orang lain bila diperlukan dan sebaliknya menggunakan kemampuan mereka untuk membantu orang lain.
  4. Humility atau kerendahan hati adalah sifat yang membuat seseorang membumi dan terus hidup dalam perspektif yang selalu terbuka. Kerendahan hati mendukung kemampuan seseorang untuk menghormati orang lain, dan opini nilai orang lain. Seseorang tidak boleh berasumsi bahwa ia tahu lebih atau tahu apa yang terbaik; tidak seperti itu, seseorang harus tetap rendah hati dalam melakukan penilaian terhadap  suatu situasi atau kondisi.
Terlepas dari posisi, tingkat, jenis kelamin, usia, atau etnis, seseorang dapat menerapkan tiap-tiap ciri tersebut di atas. Seseorang tidak harus menunggu sampai dia mencapai posisi tinggi sebelum menjadi pemimpin yang berbasis nilai. Dia hanya perlu tahu akan menjadi pemimpin seperti apa, dan segera memulai untuk mencapainya. Sentuhan nilai diri akan menciptakan determinasi atau kesungguhan yang menjadi pengungkit etos kerja dan kelincahan dalam mencari cara yang paling tepat dengan fokus pada tujuan untuk menyelesaikan masalah dan tentu saja bermanfaat bagi orang lain.

Baca Juga: Persembahan dari Value Based Team

Peran Seorang Muslim sebagai Pendorong Inovasi di Sektor Publik dengan Menanamkan Prinsip Value Based Leadership

Seri Belajar Nilai Diri Kepada Guru Kehidupan : Om Beck

Menjadi PNS yang Profesional, MUNGKINKAH?

Perjalanan Singkat Mengawal Pioner Agen Perubahan

 


No comments:

Post a Comment