Saya termasuk banyak diantara rekan-rekan
penyelenggara Diklat Kepemimpinan Pola Baru yang sangat menikmati peran baru
sebagai seorang Coach. Sebuah peran yang
dipersyaratkan dalam pola pendidikan dan pelatihan ini untuk mengawal dengan
memberikan pencerahan, motivasi serta berbagai teknik dan penguatan agar setiap
peserta diklat mampu mengeluarkan potensi terbaiknya dalam merancang dan
sekaligus mengimplementasikan ide perubahan pada unit organisasi yang menjadi
kewenangannya.
Diklat Kepemimpinan Pola Baru merupakan sebuah
terobosan yang dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai
prasyarat pemenuhan kompetensi dasar untuk menjadi pemimpin perubahan. Banyak pihak sangat mengapresiasi konsepsi
lahirnya ide perubahan ini, karena dalam era yang serba cepat dan begitu
dinamisnya tuntutan masyarakat, dibutuhkan para pejabat struktural yang adaptif
yang mampu berpikir dan bekerja cepat untuk merespon segala tantangan tersebut. Tanpa perubahan yang mendasar, “gaya
lama”pejabat publik yang “lamban” dan tidak sensitif, akan menghasilkan
kekecewaan dan segera ditinggalkan oleh masyarakat. Dewasa ini kekuatan masyarakat untuk ”
menghukum” pejabat gaya lama sungguh sangat dahsyat, hingga pada tatanan membuat
sebuah gerakan sosial dan atau juga model bisnis alternatif sebagai solusi
“ketidakhadiran”pejabat yang bersangkutan sebagai pembuat kebijakan.
Sungguh menyakitkan bahwa fenomena di atas bukanlah lahir dari kehadiran pejabat yang trampil
memberdayakan masyarakat untuk mampu bersama-sama menuntaskan permasalahan
secara mandiri, tetapi lahir dari kekecewaan masyarakat dan meninggalkan (atau
meniadakan) peran pemimpin sebagai pelayan publik.
Pada titik ini makna kehadiran pejabat sebagai pemimpin menjadi hilang,
karena apalah makna pemimpin jika tidak ada pengikut? Apalagi jika seorang pemimpin terlenakan oleh
buaian tim pendukung, yang dianggapnya sebagai pengikut setia. Untuk itu sungguh inspiratif gaya
kepemimpinan Khalifah Umar bin Khatab
yang melakukan blusukan dalam keheningan (bukan
pencitraan yang hiruk pikuk) sebagai metode yang efektif dalam mengukur
efektivitas kepemimpinannya. Model
kepemimpinan yang berorientasi kepada
kepuasan masyarakat atau pengguna layanan dari kepemimpinannya.
Apa yang saya uraikan di atas adalah alternatif bahan
diskusi yang digunakan untuk “membakar”spririt para peserta bimbingan dalam
sesi awal coaching clinic. Sengaja kami gunakan pendekatan ini, karena
tidak sedikit para pejabat (bahkan pejabat
di level operasional) yang begitu nyaman “menduduki” kursi jabatannya dan
kehilangan makna dirinya sebagai Pemimpin.
Pertanyaan kunci seperti : Siapa
yang Anda layani? Sungguh tidak dengan mudah untuk mereka jawab dan harus
diberikan waktu dan bahkan harus “dikawal” secara khusus untuk mampu
mendefinisikan siapa customer Anda. Sesi
“bedah peran pemimpin” sungguh menjadi hal yang fundamental dan tidak bisa
sekadar dijelaskan dengan model ceramah, tetapi harus dengan experiental
learning (belajar dengan mengalami) yang berbasis kepada pembangkitan nilai
(value based training), karena tanpa itu sulit bagi seorang Coach untuk
mendorong peserta menemukan jalan mandiri yang tepat.
Seorang pejabat yang bertanggungjawab mengelola
layanan umum menjadi salah satu peserta bimbingan dalam saya menjalankan
penugasan sebagai Coach. Seorang anak
muda yang smart, berlatar pendidikan
sarjana teknik dan memliki pengalaman
yang cukup sebagai pemeriksa, serta masih mampu memelihara rasa haus untuk
belajar dan berkarya, sehingga tidaklah sulit bagi saya dan tentunya bagi yang
bersangkutan untuk menemukan jalan terang-nya.
Pergulatan selama ini sebagai pemeriksa tinggal direfleksikan kembali
dari sisi customer ketika menduduki
peran baru sebagai pejabat.
Keberpihakan kepada pemeriksa karena proses mengalami
sendiri membuat dia memiliki salah satu believe
(kepercayaan) bahwa organisasi akan dapat fit jika performance pemeriksa optimum.
Dan hal ini antara lain membutuhkan dukungan alat kerja yang cukup dan mumpuni. Sehingga dengan segera yang bersangkutan
merumuskan prioritas permasalahan penyediaan alat kerja sebagai solusi yang
ditawarkan. Sampai dengan titik ini saya
mengapresiasi rencana cepat yang dipilih.
Kemudian, pertanyaan berikutnya adalah apakah dengan tersedianya alat
kerja, Anda telah merubah keadaan? Tidakkah change
management berfokus kepada change
behaviour?
Saya memberikan kesempatan kepada peserta bimbingan
tersebut untuk merenungkan kembali ide untuk mengatasi permasalahan organisasi
yang dihadapi dan menjadi kewenangan dirinya, karena sekali lagi esensi dari
model pemimpin perubahan, sejatinya tidak hadir dengan solusi yang instant, tetapi holistik dan bersifat memberdayakan. Tidak lama peserta bimbingan tersebut kembali
menyampaikan temuan “permasalahan lain” yang menurut dirinya akan menyebabkan
solusi penyediaan alat kerja menjadi tidak efektif nantinya, yaitu kekurangpedulian
staf pada layanan umum untuk (jangankan
memelihara) memonitor status dan kondisi peralatan kerja bagi pemeriksa,
dan kecenderungan enggan berbagi (karena harus berebut peralatan kerja)
diantara para pemeriksa. Ahaa…. Dia
berhasil menemukan permasalahan yang mungkin sederhana dan sering ditemui, tetapi
dipandang sangat relevan terhadap keberhasilan proyek perubahannya. Ini menjadi sisi behaviour yang ingin digarapnya.
Peserta bimbingan ini membuat semacam mile stone, sebagai upaya untuk
mewujudkan ide perubahannya. Dimulai
dengan pemberdayaan staf untuk melakukan inventarisasi peralatan kerja untuk
memastikan jumlah dan kondisi aktual, memproses procurement alat kerja baru sesuai spesifikasi yang dibutuhkan,
membahas dengan staf dan pihak terkait ide pengembangan sistem informasi yang
memuat positioning penggunaan dan
kondisi alat kerja sebagai alat bantu untuk monitoring sekaligus untuk membantu
kecepatan layanan pemeliharaan, serta membuat aturan main yang operasional
untuk sistem pinjam-pakai alat kerja yang transparan dan terintegrasi dengan
sistem, dan terakhir mengimplementasikan keseluruhan rangkaian ide perubahan
tersebut secara bertahap sesuai kesiapan.
Sebuah ide perubahan yang mungkin sederhana namun jika dijalankan dengan
sungguh-sungguh akan sangat berarti.
Kemampuan membaca “celah” untuk berbuat sesuatu yang
yang memiliki nilai tambah, sengaja didorong dari experiental learning. Ini
akan melahirkan pendekatan yang sangat authentic
bagi masing-masing peserta dan sekaligus menjadi relevan dengan kebutuhan
organisasi. Pendekatan ini mungkin saja
tidak selalu menghasilkan ide perubahan yang fenomenal tapi hampir pasti akan
memiliki dampak yang nyata bagi organisasi.
Oleh karena itu kekuatan pendekatan ini ada pada proses temu value provided : nilai keunggulan yang
ditawarkan oleh peserta bimbingan sebagai solusi dari permasalahan yang ditemukannya.
Ini menjadi concern kami, karena di negara ini banyak gagasan besar dengan
kerumitan yang luar biasa, namun gagal menyelesaikan permasalahan karena
terlalu fokus kepada cara, tidak didasarkan kepada relevansinya terhadap nilai
yang menjadi harapan publik.
Sebuah cara untuk melakukan perubahan, sesederhanana
apa pun itu, pasti mengalami resistensi dan tantangan untuk dikelola. Bagi peserta bimbingan tersebut di atas,
tantangan terbesar pertama adalah pada saat melakukan upaya “penertiban” atas
posisi dan status peralatan kerja yang bersifat mobile. Sebagian besar staf
tidak terbiasa untuk “mengatur” pemeriksa, sementara bagi pemeriksa yang sudah
memasuki zona nyaman dengan peralatan kerja mencurigai ini akan mengganggu
stabilitas penyelesaian pekerjaan yang sudah terjadi selama ini (tanpa peduli
dengan kesulitan yang dihadapi oleh rekan lainnya).
Kehadiran seorang pemimpin yang mampu menjelaskan
nilai manfaat atas pengelolaan peralatan kerja yang jelas untuk memastikan
pemerataan distribusi penggunaan dan
kemudahaan rencana pengelolaan aset negara secara berkesinambungan
(termasuk penggantian dan perbaikan) menjadi sangat dibutuhkan. Strategi lain yang dilakukan adalah melakukan
lobby terbatas untuk mengkampanyekan ide
perubahan ini kepada ”pemain kunci” sebagai tim sponsor, sekaligus mendeteksi
pemilihan key patners yang efektif
dalam merancang sistem baru ini. Menjadi
hal yang mudah diterima oleh banyak pihak karena dari awal peserta bimbingan
sudah menampilkan diri sebagai pemimpin yang memiliki strong value dalam melayani kebutuhan customer. .
Tantangan berikutnya adalah ketersediaan anggaran yang
tidak bisa memenuhi kebutuhan seluruh tenaga pemeriksa. Pada moment
ini dibutuhkan sosok pemimpin yang struggle
dan memiliki networking yang
kuat, sehingga model kolaborasi dalam sinergitas aktivitas pengelolaan belanja
negara dengan unit organisasi lain menjadi alternatif untuk menjawab tantangan
ini. Kemampuan berkomunikasi dan melihat
celah untuk berkolaborasi, dipraktekkan oleh peserta bimbingan dengan
mendapatkan “bantuan” dari unit organisasi lainnya yang belum dapat
mengoptimalkan alokasi anggarannya. Saya
membayangkan jika model kolaboratif (dalam rangka melayani publik) ini menjadi
semangat saling mendukung antar unit organisasi (tidak ada ego sektoral), problem penyerapan anggaran mungkin
menjadi kisah masa lalu.
Pada akhirnya, dalam durasi yang sangat singkat,
sekitar 65 hari, peserta bimbingan tersebut sudah mampu meletakkan dasar-dasar
rencana perubahan untuk masa depan yang sudah diindikasikan dari waktu
penyelesaian laporan hasil kerja pemeriksaan menjadi lebih singkat (tidak ada
penundaan karena problem ketersediaan alat kerja) serta kecepatan layanan
informasi status peralatan kerja dan tindakan pemeliharaan yang
dibutuhkan. Mimpi besar dalam jangka
lebih panjang, berupa pengelolaan digitalisasi database hasil pekerjaan pemeriksaan menjadi hal yang mendekati
kenyataan, sehingga kemudahan akses informasi baik proses maupun hasil
pemeriksaan menjad target value creation
lanjutan. Sebuah proyek perubahan yang
tidak pernah berhenti, step by step,
sesuai masa dan relevansinya dengan tetap mengutamakan pemenuhan nilai yang
menjadi harapan publik.
Saya pribadi merasa tidak banyak berbuat lebih untuk progress yang peserta bimbingan telah
capai. Sejatinya dirinyalah yang
menemukan ” jalannya” sendiri. Namun
saya tergelitik dengan komentar dari peserta bimbingan : “Terima kasih Pak,
atas kesediaannya untuk terus “membakar” semangat kami dengan berbagai cara,
terutama ketika kami sampai pada titik kejenuhan dan kebingungan untuk
melangkah lebih lanjut”. Komentar itu
menjadi penyemangat bahwa saya telah menemukan jalan saya sendiri bersama-sama
dengan seorang pioner agen
perubahan. Terima kasih kawan.
No comments:
Post a Comment