Tuesday, 29 December 2015

Perjalanan Singkat Mengawal Pioner Agen Perubahan



Saya termasuk banyak diantara rekan-rekan penyelenggara Diklat Kepemimpinan Pola Baru yang sangat menikmati peran baru sebagai seorang Coach.  Sebuah peran yang dipersyaratkan dalam pola pendidikan dan pelatihan ini untuk mengawal dengan memberikan pencerahan, motivasi serta berbagai teknik dan penguatan agar setiap peserta diklat mampu mengeluarkan potensi terbaiknya dalam merancang dan sekaligus mengimplementasikan ide perubahan pada unit organisasi yang menjadi kewenangannya.

Diklat Kepemimpinan Pola Baru merupakan sebuah terobosan yang dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai prasyarat pemenuhan kompetensi dasar untuk menjadi pemimpin perubahan.  Banyak pihak sangat mengapresiasi konsepsi lahirnya ide perubahan ini, karena dalam era yang serba cepat dan begitu dinamisnya tuntutan masyarakat, dibutuhkan para pejabat struktural yang adaptif yang mampu berpikir dan bekerja cepat untuk merespon segala tantangan tersebut.  Tanpa perubahan yang mendasar, “gaya lama”pejabat publik yang “lamban” dan tidak sensitif, akan menghasilkan kekecewaan dan segera ditinggalkan oleh masyarakat.  Dewasa ini kekuatan masyarakat untuk ” menghukum” pejabat gaya lama sungguh sangat dahsyat, hingga pada tatanan membuat sebuah gerakan sosial dan atau juga model bisnis alternatif sebagai solusi “ketidakhadiran”pejabat yang bersangkutan sebagai pembuat kebijakan.  

Sungguh menyakitkan bahwa fenomena di atas  bukanlah lahir dari kehadiran pejabat yang trampil memberdayakan masyarakat untuk mampu bersama-sama menuntaskan permasalahan secara mandiri, tetapi lahir dari kekecewaan masyarakat dan meninggalkan (atau meniadakan) peran pemimpin sebagai pelayan publik.  Pada titik ini makna kehadiran pejabat sebagai pemimpin menjadi hilang, karena apalah makna pemimpin jika tidak ada pengikut?  Apalagi jika seorang pemimpin terlenakan oleh buaian tim pendukung, yang dianggapnya sebagai pengikut setia.  Untuk itu sungguh inspiratif gaya kepemimpinan Khalifah Umar bin Khatab yang melakukan blusukan dalam keheningan (bukan pencitraan yang hiruk pikuk) sebagai metode yang efektif dalam mengukur efektivitas kepemimpinannya.  Model kepemimpinan yang  berorientasi kepada kepuasan masyarakat atau pengguna layanan dari kepemimpinannya. 

Apa yang saya uraikan di atas adalah alternatif bahan diskusi yang digunakan untuk “membakar”spririt para peserta bimbingan dalam sesi awal coaching clinic.  Sengaja kami gunakan pendekatan ini, karena tidak sedikit para pejabat (bahkan pejabat di level operasional) yang begitu nyaman “menduduki” kursi jabatannya dan kehilangan makna dirinya sebagai Pemimpin.  Pertanyaan kunci seperti : Siapa yang Anda layani? Sungguh tidak dengan mudah untuk mereka jawab dan harus diberikan waktu dan bahkan harus “dikawal” secara khusus untuk mampu mendefinisikan siapa customer Anda.  Sesi “bedah peran pemimpin” sungguh menjadi hal yang fundamental dan tidak bisa sekadar dijelaskan dengan model ceramah, tetapi harus dengan experiental learning (belajar dengan mengalami) yang berbasis kepada pembangkitan nilai (value based training), karena tanpa itu sulit bagi seorang Coach untuk mendorong peserta menemukan jalan mandiri yang tepat.

Seorang pejabat yang bertanggungjawab mengelola layanan umum menjadi salah satu peserta bimbingan dalam saya menjalankan penugasan sebagai Coach.  Seorang anak muda yang smart, berlatar pendidikan sarjana teknik  dan memliki pengalaman yang cukup sebagai pemeriksa, serta masih mampu memelihara rasa haus untuk belajar dan berkarya, sehingga tidaklah sulit bagi saya dan tentunya bagi yang bersangkutan untuk menemukan jalan terang-nya.  Pergulatan selama ini sebagai pemeriksa tinggal direfleksikan kembali dari sisi customer ketika menduduki peran baru sebagai pejabat.

Keberpihakan kepada pemeriksa karena proses mengalami sendiri membuat dia memiliki salah satu believe (kepercayaan) bahwa organisasi akan dapat fit jika performance pemeriksa optimum.  Dan hal ini antara lain membutuhkan dukungan alat kerja yang cukup dan mumpuni.  Sehingga dengan segera yang bersangkutan merumuskan prioritas permasalahan penyediaan alat kerja sebagai solusi yang ditawarkan.  Sampai dengan titik ini saya mengapresiasi rencana cepat yang dipilih.  Kemudian, pertanyaan berikutnya adalah apakah dengan tersedianya alat kerja, Anda telah merubah keadaan? Tidakkah change management berfokus kepada change behaviour?

Saya memberikan kesempatan kepada peserta bimbingan tersebut untuk merenungkan kembali ide untuk mengatasi permasalahan organisasi yang dihadapi dan menjadi kewenangan dirinya, karena sekali lagi esensi dari model pemimpin perubahan, sejatinya tidak hadir dengan solusi yang instant, tetapi holistik dan bersifat memberdayakan.  Tidak lama peserta bimbingan tersebut kembali menyampaikan temuan “permasalahan lain” yang menurut dirinya akan menyebabkan solusi penyediaan alat kerja menjadi tidak efektif nantinya, yaitu kekurangpedulian staf pada layanan umum untuk (jangankan memelihara) memonitor status dan kondisi peralatan kerja bagi pemeriksa, dan kecenderungan enggan berbagi (karena harus berebut peralatan kerja) diantara para pemeriksa.  Ahaa…. Dia berhasil menemukan permasalahan yang mungkin sederhana dan sering ditemui, tetapi dipandang sangat relevan terhadap keberhasilan proyek perubahannya.  Ini menjadi sisi behaviour yang ingin digarapnya.

Peserta bimbingan ini membuat semacam mile stone, sebagai upaya untuk mewujudkan ide perubahannya.  Dimulai dengan pemberdayaan staf untuk melakukan inventarisasi peralatan kerja untuk memastikan jumlah dan kondisi aktual, memproses procurement alat kerja baru sesuai spesifikasi yang dibutuhkan, membahas dengan staf dan pihak terkait ide pengembangan sistem informasi yang memuat positioning penggunaan dan kondisi alat kerja sebagai alat bantu untuk monitoring sekaligus untuk membantu kecepatan layanan pemeliharaan, serta membuat aturan main yang operasional untuk sistem pinjam-pakai alat kerja yang transparan dan terintegrasi dengan sistem, dan terakhir mengimplementasikan keseluruhan rangkaian ide perubahan tersebut secara bertahap sesuai kesiapan.  Sebuah ide perubahan yang mungkin sederhana namun jika dijalankan dengan sungguh-sungguh akan sangat berarti.  

Kemampuan membaca “celah” untuk berbuat sesuatu yang yang memiliki nilai tambah, sengaja didorong dari experiental learning.  Ini akan melahirkan pendekatan yang sangat authentic bagi masing-masing peserta dan sekaligus menjadi relevan dengan kebutuhan organisasi.  Pendekatan ini mungkin saja tidak selalu menghasilkan ide perubahan yang fenomenal tapi hampir pasti akan memiliki dampak yang nyata bagi organisasi.  Oleh karena itu kekuatan pendekatan ini ada pada proses temu value provided : nilai keunggulan yang ditawarkan oleh peserta bimbingan sebagai solusi dari permasalahan yang ditemukannya.  Ini menjadi concern kami, karena di negara ini banyak gagasan besar dengan kerumitan yang luar biasa, namun gagal menyelesaikan permasalahan karena terlalu fokus kepada cara, tidak didasarkan kepada relevansinya terhadap nilai yang menjadi harapan publik.

Sebuah cara untuk melakukan perubahan, sesederhanana apa pun itu, pasti mengalami resistensi dan tantangan untuk dikelola.  Bagi peserta bimbingan tersebut di atas, tantangan terbesar pertama adalah pada saat melakukan upaya “penertiban” atas posisi dan status peralatan kerja yang bersifat mobile.  Sebagian besar staf tidak terbiasa untuk “mengatur” pemeriksa, sementara bagi pemeriksa yang sudah memasuki zona nyaman dengan peralatan kerja mencurigai ini akan mengganggu stabilitas penyelesaian pekerjaan yang sudah terjadi selama ini (tanpa peduli dengan kesulitan yang dihadapi oleh rekan lainnya).  

Kehadiran seorang pemimpin yang mampu menjelaskan nilai manfaat atas pengelolaan peralatan kerja yang jelas untuk memastikan pemerataan distribusi penggunaan dan  kemudahaan rencana pengelolaan aset negara secara berkesinambungan (termasuk penggantian dan perbaikan) menjadi sangat dibutuhkan.  Strategi lain yang dilakukan adalah melakukan lobby terbatas untuk mengkampanyekan ide perubahan ini kepada ”pemain kunci” sebagai tim sponsor, sekaligus mendeteksi pemilihan key patners yang efektif dalam merancang sistem baru ini.  Menjadi hal yang mudah diterima oleh banyak pihak karena dari awal peserta bimbingan sudah menampilkan diri sebagai pemimpin yang memiliki strong value dalam melayani kebutuhan customer.        .     

Tantangan berikutnya adalah ketersediaan anggaran yang tidak bisa memenuhi kebutuhan seluruh tenaga pemeriksa.  Pada moment ini dibutuhkan sosok pemimpin yang struggle dan memiliki networking yang kuat, sehingga model kolaborasi dalam sinergitas aktivitas pengelolaan belanja negara dengan unit organisasi lain menjadi alternatif untuk menjawab tantangan ini.  Kemampuan berkomunikasi dan melihat celah untuk berkolaborasi, dipraktekkan oleh peserta bimbingan dengan mendapatkan “bantuan” dari unit organisasi lainnya yang belum dapat mengoptimalkan alokasi anggarannya.  Saya membayangkan jika model kolaboratif (dalam rangka melayani publik) ini menjadi semangat saling mendukung antar unit organisasi (tidak ada ego sektoral), problem penyerapan anggaran mungkin menjadi kisah masa lalu.

Pada akhirnya, dalam durasi yang sangat singkat, sekitar 65 hari, peserta bimbingan tersebut sudah mampu meletakkan dasar-dasar rencana perubahan untuk masa depan yang sudah diindikasikan dari waktu penyelesaian laporan hasil kerja pemeriksaan menjadi lebih singkat (tidak ada penundaan karena problem ketersediaan alat kerja) serta kecepatan layanan informasi status peralatan kerja dan tindakan pemeliharaan yang dibutuhkan.  Mimpi besar dalam jangka lebih panjang, berupa pengelolaan digitalisasi database hasil pekerjaan pemeriksaan menjadi hal yang mendekati kenyataan, sehingga kemudahan akses informasi baik proses maupun hasil pemeriksaan menjad target value creation lanjutan.  Sebuah proyek perubahan yang tidak pernah berhenti, step by step, sesuai masa dan relevansinya dengan tetap mengutamakan pemenuhan nilai yang menjadi harapan publik.    

Saya pribadi merasa tidak banyak berbuat lebih untuk progress yang peserta bimbingan telah capai.  Sejatinya dirinyalah yang menemukan ” jalannya” sendiri.  Namun saya tergelitik dengan komentar dari peserta bimbingan : “Terima kasih Pak, atas kesediaannya untuk terus “membakar” semangat kami dengan berbagai cara, terutama ketika kami sampai pada titik kejenuhan dan kebingungan untuk melangkah lebih lanjut”.  Komentar itu menjadi penyemangat bahwa saya telah menemukan jalan saya sendiri bersama-sama dengan seorang pioner agen perubahan.  Terima kasih kawan.    
        
            

No comments:

Post a Comment