Values-based leaders are selfless and driven by the
needs of others instead of being motivated by power, money, status, or fame.
Islam adalah
agama rahmatan lil ‘alamiin. Konsekuensinya, seorang muslim haruslah menjadi pribadi
yang mampu memainkan peran itu. Dia harus mampu menjadi inspirator di
lingkungan tempat dia berada dengan berbuat serta memberi contoh bagaimana
menjadi pribadi yang bermanfaat untuk sesama dengan tulus ikhlas tanpa
mengharapkan balasan selain ridha Allah SWT. Adapun penghargaan prestasi dalam
bentuk kedudukan, uang, atau ketenaran merupakan sesuatu yang dianggap “bonus”
semata sebagai suatu konsekuensi logis dari sistem dan aturan yang ada.
Keinginan untuk
menjadi pribadi yang bermanfaat merupakan suatu prinsip dalam islam yang
tercantum dalam hadits Rasulullah SAW. Hadits-nya popular, yaitu hadits yang
menyatakan “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain”.
Hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir r.a., ia berkata,”Rasulullah
Shallallahualaihiwassalam bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak
ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi
manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)
Dalam riwayat
lain, bunyi haditsnya adalah sebagai berikut.
Dari Ibnu Umar bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi
SAW dan berkata,”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah?
dan amal apakah yang paling dicintai Allah SWT?” Rasulullah SAW menjawab,”Orang
yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan
amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam
diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau
melunasi utang atau menghilangkan kelaparan. Dan sesungguhnya aku berjalan
bersama seorang saudaraku untuk (menunaikan) suatu kebutuhan lebih aku sukai
daripada aku beritikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama satu bulan.
Dan barangsiapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi
kekurangannya dan barangsiapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk
melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat.
Dan barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu
keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan
kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (HR. Thabrani)
Dua hal utama
yang dibahas dalam hadits tersebut adalah orang
dan amal yang paling dicintai Allah SWT. Menjadi orang yang bermanfaat bagi
orang lain dengan cara berbagi kebahagiaan atau mengatasi kesulitan orang lain
akan mendatangkan kecintaan Allah SWT. Hal tersebut berarti dalam keseharian,
seorang muslim dituntut selalu berbuat sesuatu yang dapat mewujudkan hal
tersebut. Jika sebagian besar waktunya berada di lingkungan kerja, maka peluang
terbesar bagi orang tersebut untuk mendapatkan kecintaan Allah SWT adalah
dengan memaksimalkan peran di tempat kerjanya. Ia harus mampu melihat dan
merasakan kebutuhan orang yang dilayaninya agar dapat berbuat sesuatu yang
bermanfaat sehingga mampu memberikan kebahagiaan atau menghilangkan kesulitan.
Di sinilah letaknya peluang bagi seorang pelayan publik untuk melakukan sesuatu
yang kreatif dan inovatif.
Selain itu dalam
hadits tersebut juga disebutkan bahwa “berjalan bersama seorang saudaraku untuk
menunaikan suatu kebutuhan lebih disukai Rasulullah SAW daripada beritikaf di
Masjid Madinah selama satu bulan”. Hadits ini mengandung pelajaran bahwa untuk
mewujudkan manfaat diri seorang muslim diperlukan amaliah sosial. Karena itu, seorang
muslim harus memaksimalkan manfaat dirinya ketika bekerja. Dia harus mampu
memberikan kontribusi positif yang berdampak pada datangnya kebahagiaan atau
hilangnya kesulitan orang yang dilayaninya dengan ikhlas semata-mata mengharap
ridha Allah SWT. Inilah yang disebut dengan “value based”, yaitu melakukan sesuatu karena keyakinan yang membawa
seseorang memiliki “nilai diri” (value).
Nilai diri itulah yang mendorong seseorang selalu ingin berbuat dan bermanfaat sehingga
perbuatannya bukan dimotivasi oleh keinginan untuk mendapatkan kekuasaan, uang
ataupun popularitas.
Lalu, bagaimana
dengan profesi PNS atau pejabat publik? PNS atau pejabat publik mungkin lebih
banyak berkutat dengan tugas keseharian yang bersifat rutin dengan orientasi
utama mencapai target kinerja atau mungkin penghasilan. Pemikiran tentang apa
manfaat yang dapat diberikan kepada orang lain dalam kapasitas peran yang
sedang disandang belum banyak ditemukan. Bahkan, realitas yang ada menunjukkan proses
birokrasi masih saja dirasakan tidak ramah oleh para penggunanya. Jargon “kalo bisa
dipersulit untuk apa dipermudah” masih akrab di telinga kita sebagai sebuah hal
biasa yang dianggap benar padahal salah.
Kebanyakan orang
berpikir untuk “berbuat” harus menunggu sampai jadi pejabat tinggi. Padahal,
dengan peran apapun yang disandang sekarang, sesungguhnya setiap manusia dapat
bermanfaat bagi orang lain sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Sebagai
contoh, pegawai di bagian pengelolaan SDM berperan untuk membantu pegawai yang
lain untuk mendapatkan hak-haknya sesuai dengan ketentuan. Manfaat dirinya
untuk pegawai lain dapat dilakukan dengan memberikan kemudahan informasi dan
pelayanan administrasi kepegawaian terutama untuk hal-hal yang menyangkut
kesejahteraan seperti kenaikan pangkat misalnya.
Bagi seorang pemimpin,
belief atau keyakinan merupakan hal
fundamental yang dapat mempengaruhi nilai diri yang kemudian wujud dalam
tindakan. Bagi seorang pemimpin muslim, sejatinya tindakan yang diambil harus
berdasarkan prinsip ajaran agama Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Oleh
karena itu, seorang pemimpin muslim harus selalu menjadikan dirinya bermanfaat
bagi orang lain. Manfaat tersebut tentunya terkait dengan apa yang menjadi
tugas dan tanggung jawabnya sehingga dalam pelaksanaan tugasnya dapat
memberikan yang terbaik kepada pihak yang dilayani. Hasrat untuk selalu ingin
memberikan yang terbaik terhadap semua pihak ini merupakan contoh nyata tentang
apa yang disebut value atau nilai.
Setiap pilihan strategi dan tindakan value
based leader selalu di-lead oleh
nilai-nilai yang ada dalam dirinya tanpa harus kaku atau anti dengan perubahan
strategi selama pilihan yang diambil sesuai dengan nilai-nilai yang
diyakininya.
Prof. Rhenald
Kasali pernah menulis sebuah artikel dengan judul “Mereka Cari Jalan, Bukan
Uang”. Dalam tulisan itu diceritakan bahwa kebanyakan pemimpin besar itu lahir
dari kegigihannya mencari makna dari apa yang dilakukan bukan apa yang akan
didapat seperti uang dan jabatan. Justru yang mengejar uang dan jabatan, pada
akhirnya malah kehilangan itu semua.
Setiap individu
PNS sejatinya merupakan pelayan publik. Setiap tugas dan fungsi pasti ada
customer-nya. Customer itu mungkin orang di luar organisasi, di luar satker,
teman sejawat, atasan atau bahkan mungkin bawahan kita. Sebagai seorang pelayan
publik, kita harus mampu melihat kebutuhan yang diharapkan customer dapat kita
penuhi atau masalah customer yang dapat diselesaikan atau dimitigasi.
Jika waktu
pelayanan dirasakan lambat oleh customer, maka seorang value based leader harus peka terhadap masalah itu. Dia harus mampu
memberikan solusi atas masalah tersebut. Maka, kecepatan layanan haruslah
menjadi fokus utama yang harus dibenahi. Kecepatan sebagai sebuah jawaban itulah
yang disebut “nilai yang ditawarkan”. Nilai ini adalah sebuah manifestasi dari “nilai
diri” seorang muslim yang selalu ingin bermanfaat untuk orang lain.
Jika seorang
muslim mempunyai habit atau budaya “peka” atas masalah orang lain, maka hal
tersebut akan mendorong dirinya untuk terus berinovasi mencari cara terbaik
untuk dapat mencapai misinya, yaitu memudahkan orang lain. Tentu saja,
sebagaimana diulas sebelumnya, Islam telah mengajarkan umatnya untuk selalu
bermanfaat bagi manusia lain. Oleh karenanya, prinsip ini menjadi alasan utama
bahwa seorang muslim harus memiliki peran utama sebagai pendorong inovasi tidak
terkecuali di sektor publik.
No comments:
Post a Comment