Wednesday, 30 December 2015

Value Based Leadership: Sebuah Journey Menuju Penciptaan Karakter Seorang Pemimpin yang Memiliki Nilai Manfaat



“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
“sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
Al-Insyirah (QS.94: 5-6)

Life is a school and you are here to learn. Problems are simply part of the curriculum and fade away like algebra class but the lessons you learn will last lifetime (Daily Health Gen by Life Hacker India)


Perjalanan hidup merupakan journey yang menjadi faktor utama terbentuknya karakter seorang pemimpin. Pendidikan, pengalaman, budaya, keluarga, dan organisasi merupakan faktor-faktor yang berperan besar dalam proses pengembangan keyakinan seseorang. Semua itu menjadi satu paket “experiential learning” yang akan sangat mempengaruhi proses pembentukan karakter seorang pemimpin yang memiliki value yang baik atau malah sebaliknya.

Keyakinan terhadap konsep manfaat diri itu berkaitan dengan "rasa". Oleh karena itu, pengenalan terhadap "rasa" atau "kenikmatan" menjadi pribadi yang bermanfaat hanya dapat diperoleh dengan “mengalami”.  Meyakini sebuah "rasa" tidak cukup hanya dengan mendengarkan “ceramah”, tetapi harus ada suatu proses pembuktian. Hal itu dikarenakan nilai diri bukan hanya sebuah jargon yang diperoleh dari proses pemikiran atau kognitif, tetapi hasil dari proses pemahaman yang panjang berdasarkan pengalaman hingga tertanam di alam bawah sadar seseorang.

Lika-liku kehidupan yang serba sulit kadang menjadikan seseorang tumbuh dengan kemampuan problem solving yang baik. Selain dituntut untuk tegar, keharusan keluar dari masalah membuat seseorang terbiasa untuk peka dalam membaca masalah dan mencari jalan keluar. Kemampuan mencari informasi yang berguna (information seeking) dalam setiap situasi yang sulit juga terbentuk seiring dengan berjalannya waktu. Kesulitan juga menuntut seseorang untuk sadar bahwa dirinya membutuhkan orang lain sehingga ia harus menjadi pribadi yang mudah bergaul dan menyenangkan orang lain.

Sebagaimana kisah percobaan atas kepompong kupu-kupu dengan cara membelah kepompong untuk membantu kupu-kupu agar bisa keluar dengan mudah. Jika kepompong dibelah sebelum waktunya, maka kupu-kupu tersebut justru mati. Pun ketika dibelah pada waktu alamiahnya, yaitu pada hari ke-21, kupu-kupu tidak dapat ber-metamorfosis ke bentuknya yang paling sempurna. Sayapnya kecil dan rapuh sehingga kupu-kupu tersebut tidak dapat bertahan hidup lama. Rahasianya adalah adanya kesulitan yang membawa manfaat besar dalam proses keluarnya kupu-kupu dari dalam kepompong. Rupanya, untuk berubah dari ulat menjadi kupu-kupu ia harus mengorbankan dirinya dengan menghancurkan tubuhnya menjadi cairan yang justru menjadi nutrisi bagi embrio kupu-kupu. Kesakitan yang dialami oleh sang kupu-kupu harus dialami sampai "tuntas" hingga ia memiliki cakar yang kuat untuk merobek bagian ujung  kepompong pada saat ia mau keluar. Terbentuknya cakar itu merupakan tanda bagi kupu-kupu bahwa sayapnya telah terbentuk dengan sempurna dan ia siap untuk mengarungi kehidupan barunya dalam bentuk yang lebih indah dari bentuk asalnya. Demikianlah, alam mengajarkan kepada kita bahwa di balik kesulitan ada kemudahan.

Untuk belajar tentang nilai manfaat kehidupan, sebagian orang malah “menciptakan kesulitan” dalam hidup mereka sendiri. Mengabdikan diri untuk melakukan hal-hal yang sulit justru menjadi pilihan hidup. Mengajar atau menjadi tenaga kesehatan di desa pedalaman merupakan sebagian bentuk pilihan bagi mereka yang berusaha mencari makna hidup daripada uang. Demikian tulisan Prof. Renald Kasali yang berjudul “Mereka Cari Jalan Bukan Uang”. Dalam tulisan itu, beliau menceritakan kisah orang-orang yang lebih mendahulukan untuk mencari “meaning” ketimbang uang justru sukses pada akhirnya. Tentu saja sukses yang penuh makna dan lebih langgeng karena karakter pribadi yang bermanfaat begitu melekat pada dirinya, sehingga kesuksesan yang diraih tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu.

Pengalaman hidup seseorang dapat membawanya kepada penemuan bahwa untuk keluar dari masalah adalah justru dengan membantu orang lain. “more you give… more you get” demikian menurut pepatah asing. Ajaran agama Islam menegaskan “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya” (QS. 99:7). Dalam ajaran agama Nasrani juga ada hukum “tabur tuai”, dan dalam ajaran agama Hindu ada “hukum karma”. Bahkan Islam mengajarkan ketika seseorang ditimpa kesulitan, ia disarankan untuk bersedekah, jika mungkin dengan harta yang paling dicintai. Ini mirip rumus pertahanan dalam sepakbola yang menyatakan bahwa menyerang adalah cara bertahan yang paling baik.

Semua hukum itu menegaskan bahwa “memberi” adalah jalan yang terbaik untuk memperoleh jalan keluar. Jika hal itu dilakukan dalam kurun waktu yang lama, maka hal tersebut akan menjadi kebiasaan yang kemudian berbuah karakter diri yang senantiasa senang memberi manfaat. Proses “mengalami” adalah jalan menuju kepada keyakinan. Jika di masa depan orang tersebut menjadi pemimpin, dapat dipastikan ia akan menjadi pemimpin yang amanah dan senantiasa senang memberi manfaat kepada siapa saja yang menjadi “urusannya”. Inilah makna dari value based leadership, yaitu memimpin orang lain dengan tetap berpegang teguh pada keyakinan sang pemimpin. Pemimpin yang memiliki prinsip manfaat tidak dapat ditawar atau dipengaruhi nilai-nilai fundamental orang lain.

Seorang pemimpin yang memiliki  nilai diri selalu memimpin dengan hati, bermanfaat bagi orang lain, tanpa pamrih,  dan tidak mengutamakan kekuasaan, uang, status, atau ketenaran. Hal-hal yang dilakukannya tidak selalu harus canggih atau sophisticated, malah mungkin sesuatu yang sederhana tetapi bernuansa manfaat yang besar. Kepedulian seorang pemimpin akan membawanya untuk mampu mencari jalan keluar bagi masalah atau kesulitan yang dihadapi suatu organisasi atau masyarakat. Cara yang dipilih selalu berpijak pada nilai diri sang pemimpin. Ia tidak selalu mengandalkan uang atau materi untuk menciptakan inovasi yang cerdas. Pengalamannya dalam menyelesaikan masalah hidupnya di masa lalu menjadi energi atas etos kerjanya sehingga ia mampu tampil sebagai pemenang tanpa harus keluar dari nilai yang menjadi pegangannya.

Pernyataan nilai diri seseorang dapat bermacam-macam bentuk dan caranya. Namun, semua terangkum dalam satu kata, yaitu manfaat diri untuk orang lain. Tokoh-tokoh dunia berikut adalah contohnya. 

  • Mahatma Gandhi - keyakinan utamanya tentang cara-cara non kekerasan untuk mencapai manfaat berupa kemerdekaan.
  • Ibu Teresa - Dikenal dengan sumpahnya yang tak tergoyahkan untuk senantiasa membantu dunia yang membutuhkan. Ibu Teresa berjuang untuk orang miskin, orang sakit, yatim, dan orang yang sedang sekarat sekalipun.
  • Martin Luther King, Jr - pemimpin gerakan hak-hak sipil berdasarkan keyakinannya atas persamaan ras melalui langkah-langkah damai.
  • Nelson Mandela - Seorang mantan Presiden Afrika Selatan yang berjuang untuk mengakhiri praktek Apartheid dan membawa demokrasi ke Afrika Selatan.
Pada akhirnya, nilai diri seorang pemimpin itu harus wujud dalam tindakan. Untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Harry Jensen Kramer Jr. dalam bukunya yang berjudul “From Values to Action: The Four Principles of Values-Based Leadership”, ada empat ciri penting dari seorang pemimpin berbasis nilai.

  1. Self-reflection adalah sifat yang diperlukan bagi seseorang untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi nilai-nilai fundamental-nya. Ia harus menyadari bagaimana pengalaman, pendidikan, prioritas, keyakinan, dan nilai-nilai mempengaruhi cara bagaimana dia membuat keputusan, memimpin orang lain, dan menangani konflik. Aktivitas Self-reflection akan meningkatkan pemahaman seseorang tentang dirinya sendiri.
  2. Balance atau keseimbangan diukur dari kemampuan seseorang untuk melihat situasi dari perspektif yang berbeda. Ia harus tetap berpikiran terbuka dan mempertimbangkan semua pendapat sebelum membuat keputusan atau mengevaluasi suatu situasi atau kondisi. Sifat ini juga berarti ia mampu mencapai tingkat keseimbangan yang sehat antara kerja dengan hidup sehingga dapat menjadi contoh bagi orang lain untuk mengikuti jejaknya.
  3. Self-confidence atau kepercayaan diri sangat penting bagi para pemimpin untuk benar-benar percaya pada diri mereka sendiri. Pemimpin harus mampu mengidentifikasi area kekuatan dan kelemahan sambil terus meningkatkan kemampuan mereka. Pemimpin yang memiliki kepercayaan diri justru sekali-kali meminta bantuan orang lain bila diperlukan dan sebaliknya menggunakan kemampuan mereka untuk membantu orang lain.
  4. Humility atau kerendahan hati adalah sifat yang membuat seseorang membumi dan terus hidup dalam perspektif yang selalu terbuka. Kerendahan hati mendukung kemampuan seseorang untuk menghormati orang lain, dan opini nilai orang lain. Seseorang tidak boleh berasumsi bahwa ia tahu lebih atau tahu apa yang terbaik; tidak seperti itu, seseorang harus tetap rendah hati dalam melakukan penilaian terhadap  suatu situasi atau kondisi.
Terlepas dari posisi, tingkat, jenis kelamin, usia, atau etnis, seseorang dapat menerapkan tiap-tiap ciri tersebut di atas. Seseorang tidak harus menunggu sampai dia mencapai posisi tinggi sebelum menjadi pemimpin yang berbasis nilai. Dia hanya perlu tahu akan menjadi pemimpin seperti apa, dan segera memulai untuk mencapainya. Sentuhan nilai diri akan menciptakan determinasi atau kesungguhan yang menjadi pengungkit etos kerja dan kelincahan dalam mencari cara yang paling tepat dengan fokus pada tujuan untuk menyelesaikan masalah dan tentu saja bermanfaat bagi orang lain.

Baca Juga: Persembahan dari Value Based Team

Peran Seorang Muslim sebagai Pendorong Inovasi di Sektor Publik dengan Menanamkan Prinsip Value Based Leadership

Seri Belajar Nilai Diri Kepada Guru Kehidupan : Om Beck

Menjadi PNS yang Profesional, MUNGKINKAH?

Perjalanan Singkat Mengawal Pioner Agen Perubahan

 


Tuesday, 29 December 2015

Perjalanan Singkat Mengawal Pioner Agen Perubahan



Saya termasuk banyak diantara rekan-rekan penyelenggara Diklat Kepemimpinan Pola Baru yang sangat menikmati peran baru sebagai seorang Coach.  Sebuah peran yang dipersyaratkan dalam pola pendidikan dan pelatihan ini untuk mengawal dengan memberikan pencerahan, motivasi serta berbagai teknik dan penguatan agar setiap peserta diklat mampu mengeluarkan potensi terbaiknya dalam merancang dan sekaligus mengimplementasikan ide perubahan pada unit organisasi yang menjadi kewenangannya.

Diklat Kepemimpinan Pola Baru merupakan sebuah terobosan yang dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai prasyarat pemenuhan kompetensi dasar untuk menjadi pemimpin perubahan.  Banyak pihak sangat mengapresiasi konsepsi lahirnya ide perubahan ini, karena dalam era yang serba cepat dan begitu dinamisnya tuntutan masyarakat, dibutuhkan para pejabat struktural yang adaptif yang mampu berpikir dan bekerja cepat untuk merespon segala tantangan tersebut.  Tanpa perubahan yang mendasar, “gaya lama”pejabat publik yang “lamban” dan tidak sensitif, akan menghasilkan kekecewaan dan segera ditinggalkan oleh masyarakat.  Dewasa ini kekuatan masyarakat untuk ” menghukum” pejabat gaya lama sungguh sangat dahsyat, hingga pada tatanan membuat sebuah gerakan sosial dan atau juga model bisnis alternatif sebagai solusi “ketidakhadiran”pejabat yang bersangkutan sebagai pembuat kebijakan.  

Sungguh menyakitkan bahwa fenomena di atas  bukanlah lahir dari kehadiran pejabat yang trampil memberdayakan masyarakat untuk mampu bersama-sama menuntaskan permasalahan secara mandiri, tetapi lahir dari kekecewaan masyarakat dan meninggalkan (atau meniadakan) peran pemimpin sebagai pelayan publik.  Pada titik ini makna kehadiran pejabat sebagai pemimpin menjadi hilang, karena apalah makna pemimpin jika tidak ada pengikut?  Apalagi jika seorang pemimpin terlenakan oleh buaian tim pendukung, yang dianggapnya sebagai pengikut setia.  Untuk itu sungguh inspiratif gaya kepemimpinan Khalifah Umar bin Khatab yang melakukan blusukan dalam keheningan (bukan pencitraan yang hiruk pikuk) sebagai metode yang efektif dalam mengukur efektivitas kepemimpinannya.  Model kepemimpinan yang  berorientasi kepada kepuasan masyarakat atau pengguna layanan dari kepemimpinannya. 

Apa yang saya uraikan di atas adalah alternatif bahan diskusi yang digunakan untuk “membakar”spririt para peserta bimbingan dalam sesi awal coaching clinic.  Sengaja kami gunakan pendekatan ini, karena tidak sedikit para pejabat (bahkan pejabat di level operasional) yang begitu nyaman “menduduki” kursi jabatannya dan kehilangan makna dirinya sebagai Pemimpin.  Pertanyaan kunci seperti : Siapa yang Anda layani? Sungguh tidak dengan mudah untuk mereka jawab dan harus diberikan waktu dan bahkan harus “dikawal” secara khusus untuk mampu mendefinisikan siapa customer Anda.  Sesi “bedah peran pemimpin” sungguh menjadi hal yang fundamental dan tidak bisa sekadar dijelaskan dengan model ceramah, tetapi harus dengan experiental learning (belajar dengan mengalami) yang berbasis kepada pembangkitan nilai (value based training), karena tanpa itu sulit bagi seorang Coach untuk mendorong peserta menemukan jalan mandiri yang tepat.

Seorang pejabat yang bertanggungjawab mengelola layanan umum menjadi salah satu peserta bimbingan dalam saya menjalankan penugasan sebagai Coach.  Seorang anak muda yang smart, berlatar pendidikan sarjana teknik  dan memliki pengalaman yang cukup sebagai pemeriksa, serta masih mampu memelihara rasa haus untuk belajar dan berkarya, sehingga tidaklah sulit bagi saya dan tentunya bagi yang bersangkutan untuk menemukan jalan terang-nya.  Pergulatan selama ini sebagai pemeriksa tinggal direfleksikan kembali dari sisi customer ketika menduduki peran baru sebagai pejabat.

Keberpihakan kepada pemeriksa karena proses mengalami sendiri membuat dia memiliki salah satu believe (kepercayaan) bahwa organisasi akan dapat fit jika performance pemeriksa optimum.  Dan hal ini antara lain membutuhkan dukungan alat kerja yang cukup dan mumpuni.  Sehingga dengan segera yang bersangkutan merumuskan prioritas permasalahan penyediaan alat kerja sebagai solusi yang ditawarkan.  Sampai dengan titik ini saya mengapresiasi rencana cepat yang dipilih.  Kemudian, pertanyaan berikutnya adalah apakah dengan tersedianya alat kerja, Anda telah merubah keadaan? Tidakkah change management berfokus kepada change behaviour?

Saya memberikan kesempatan kepada peserta bimbingan tersebut untuk merenungkan kembali ide untuk mengatasi permasalahan organisasi yang dihadapi dan menjadi kewenangan dirinya, karena sekali lagi esensi dari model pemimpin perubahan, sejatinya tidak hadir dengan solusi yang instant, tetapi holistik dan bersifat memberdayakan.  Tidak lama peserta bimbingan tersebut kembali menyampaikan temuan “permasalahan lain” yang menurut dirinya akan menyebabkan solusi penyediaan alat kerja menjadi tidak efektif nantinya, yaitu kekurangpedulian staf pada layanan umum untuk (jangankan memelihara) memonitor status dan kondisi peralatan kerja bagi pemeriksa, dan kecenderungan enggan berbagi (karena harus berebut peralatan kerja) diantara para pemeriksa.  Ahaa…. Dia berhasil menemukan permasalahan yang mungkin sederhana dan sering ditemui, tetapi dipandang sangat relevan terhadap keberhasilan proyek perubahannya.  Ini menjadi sisi behaviour yang ingin digarapnya.

Peserta bimbingan ini membuat semacam mile stone, sebagai upaya untuk mewujudkan ide perubahannya.  Dimulai dengan pemberdayaan staf untuk melakukan inventarisasi peralatan kerja untuk memastikan jumlah dan kondisi aktual, memproses procurement alat kerja baru sesuai spesifikasi yang dibutuhkan, membahas dengan staf dan pihak terkait ide pengembangan sistem informasi yang memuat positioning penggunaan dan kondisi alat kerja sebagai alat bantu untuk monitoring sekaligus untuk membantu kecepatan layanan pemeliharaan, serta membuat aturan main yang operasional untuk sistem pinjam-pakai alat kerja yang transparan dan terintegrasi dengan sistem, dan terakhir mengimplementasikan keseluruhan rangkaian ide perubahan tersebut secara bertahap sesuai kesiapan.  Sebuah ide perubahan yang mungkin sederhana namun jika dijalankan dengan sungguh-sungguh akan sangat berarti.  

Kemampuan membaca “celah” untuk berbuat sesuatu yang yang memiliki nilai tambah, sengaja didorong dari experiental learning.  Ini akan melahirkan pendekatan yang sangat authentic bagi masing-masing peserta dan sekaligus menjadi relevan dengan kebutuhan organisasi.  Pendekatan ini mungkin saja tidak selalu menghasilkan ide perubahan yang fenomenal tapi hampir pasti akan memiliki dampak yang nyata bagi organisasi.  Oleh karena itu kekuatan pendekatan ini ada pada proses temu value provided : nilai keunggulan yang ditawarkan oleh peserta bimbingan sebagai solusi dari permasalahan yang ditemukannya.  Ini menjadi concern kami, karena di negara ini banyak gagasan besar dengan kerumitan yang luar biasa, namun gagal menyelesaikan permasalahan karena terlalu fokus kepada cara, tidak didasarkan kepada relevansinya terhadap nilai yang menjadi harapan publik.

Sebuah cara untuk melakukan perubahan, sesederhanana apa pun itu, pasti mengalami resistensi dan tantangan untuk dikelola.  Bagi peserta bimbingan tersebut di atas, tantangan terbesar pertama adalah pada saat melakukan upaya “penertiban” atas posisi dan status peralatan kerja yang bersifat mobile.  Sebagian besar staf tidak terbiasa untuk “mengatur” pemeriksa, sementara bagi pemeriksa yang sudah memasuki zona nyaman dengan peralatan kerja mencurigai ini akan mengganggu stabilitas penyelesaian pekerjaan yang sudah terjadi selama ini (tanpa peduli dengan kesulitan yang dihadapi oleh rekan lainnya).  

Kehadiran seorang pemimpin yang mampu menjelaskan nilai manfaat atas pengelolaan peralatan kerja yang jelas untuk memastikan pemerataan distribusi penggunaan dan  kemudahaan rencana pengelolaan aset negara secara berkesinambungan (termasuk penggantian dan perbaikan) menjadi sangat dibutuhkan.  Strategi lain yang dilakukan adalah melakukan lobby terbatas untuk mengkampanyekan ide perubahan ini kepada ”pemain kunci” sebagai tim sponsor, sekaligus mendeteksi pemilihan key patners yang efektif dalam merancang sistem baru ini.  Menjadi hal yang mudah diterima oleh banyak pihak karena dari awal peserta bimbingan sudah menampilkan diri sebagai pemimpin yang memiliki strong value dalam melayani kebutuhan customer.        .     

Tantangan berikutnya adalah ketersediaan anggaran yang tidak bisa memenuhi kebutuhan seluruh tenaga pemeriksa.  Pada moment ini dibutuhkan sosok pemimpin yang struggle dan memiliki networking yang kuat, sehingga model kolaborasi dalam sinergitas aktivitas pengelolaan belanja negara dengan unit organisasi lain menjadi alternatif untuk menjawab tantangan ini.  Kemampuan berkomunikasi dan melihat celah untuk berkolaborasi, dipraktekkan oleh peserta bimbingan dengan mendapatkan “bantuan” dari unit organisasi lainnya yang belum dapat mengoptimalkan alokasi anggarannya.  Saya membayangkan jika model kolaboratif (dalam rangka melayani publik) ini menjadi semangat saling mendukung antar unit organisasi (tidak ada ego sektoral), problem penyerapan anggaran mungkin menjadi kisah masa lalu.

Pada akhirnya, dalam durasi yang sangat singkat, sekitar 65 hari, peserta bimbingan tersebut sudah mampu meletakkan dasar-dasar rencana perubahan untuk masa depan yang sudah diindikasikan dari waktu penyelesaian laporan hasil kerja pemeriksaan menjadi lebih singkat (tidak ada penundaan karena problem ketersediaan alat kerja) serta kecepatan layanan informasi status peralatan kerja dan tindakan pemeliharaan yang dibutuhkan.  Mimpi besar dalam jangka lebih panjang, berupa pengelolaan digitalisasi database hasil pekerjaan pemeriksaan menjadi hal yang mendekati kenyataan, sehingga kemudahan akses informasi baik proses maupun hasil pemeriksaan menjad target value creation lanjutan.  Sebuah proyek perubahan yang tidak pernah berhenti, step by step, sesuai masa dan relevansinya dengan tetap mengutamakan pemenuhan nilai yang menjadi harapan publik.    

Saya pribadi merasa tidak banyak berbuat lebih untuk progress yang peserta bimbingan telah capai.  Sejatinya dirinyalah yang menemukan ” jalannya” sendiri.  Namun saya tergelitik dengan komentar dari peserta bimbingan : “Terima kasih Pak, atas kesediaannya untuk terus “membakar” semangat kami dengan berbagai cara, terutama ketika kami sampai pada titik kejenuhan dan kebingungan untuk melangkah lebih lanjut”.  Komentar itu menjadi penyemangat bahwa saya telah menemukan jalan saya sendiri bersama-sama dengan seorang pioner agen perubahan.  Terima kasih kawan.    
        
            

Monday, 28 December 2015

MENJADI PNS YANG PROFESIONAL, MUNGKINKAH?


Suatu pagi anak saya bertanya kepada saya :
Apa pekerjaan saya, lalu saya jawab pendek : PNS…..
Anak saya pun bertanya kembali : PNS itu singkatan dari apa?...
Pegawai Negeri Sipil, jawab saya.
Anak saya pun membalas : Wah berarti sama dong dengan Bu Guru…..
Lalu dia pun bertanya lebih lanjut : Kalau mau jadi PNS harus jago apa yah? 

Pertanyaan anak saya itu membuat saya merenung. Kalau kata profesional itu dipersepsikan sama dengan kecakapan, keahlian atau kalau menggunakan logika sederhana anak saya kata ”jago“, maka kata tersebut menjadi sepadan dengan keunggulan yang unik (dibandingkan dengan bidang pekerjaan lain). Lebih jauh, saya meneruskan kembali pertanyaan anak saya itu menjadi pertanyaan yang lebih besar, apakah layak PNS dikategorikan sebagai profesi?. Pertanyaan itu muncul karena logika berpikirnya saya bangun dari kondisi bahwa hanya dari sebuah profesi-lah, seseorang akan dapat diukur profesional atau tidak.
Perjalanan lorong waktu yang saya alami selama ”berkarya” (saya menjadi lebih berhati-hati menggunakan pilihan kata bekerja atau berprofesi) merupakan refleksi diri saya selama menjadi PNS sampai dengan saat ini.  Proses rekruitmen saya lalui dengan proses yang terstandar yaitu dimulai dari pemenuhan syarat administrasi berupa dokumen pendidikan yang wajib dilegalisasi, rekomendasi kesehatan dari institusi kesehatan, rekomendasi berkelakuan yang baik dari kepolisian, dokumen domisili serta sejumlah formulir isian yang wajib dilengkapi.  Setelah proses seleksi administrasi terlampui, dilakukan seleksi potensi kecakapan akademis termasuk berbahasa asing (bahasa inggris), dilanjutkan dengan uji psikologis, dan terakhir dengan wawancara.  Setelah melampui seluruh tahapan dan dinyatakan lulus, baru dinyatakan sebagai CPNS (calon PNS).  Untuk dapat dinyatakan (atau diangkat) sebagai PNS saya harus melalui Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan dan uji kesehatan.  Sebuah proses yang tidak sebentar dan tidak sederhana serta berbiaya tidak murah tentunya. 
Uraian di atas menggambarkan bahwa proses mencari PNS dilalui dengan serangkaian pemenuhan  “kriteria”untuk mencari “kepantasan” (sekali lagi saya belum berani menyebut” keahlian”) orang yang akan diangkat sebagai PNS.  Sebagai seorang sarjana akuntansi bersertifikat akuntan dengan pengalaman bekerja di kantor akuntan publik, saya melalui proses seleksi yang sama (tidak ada yang berbeda) dengan rekan yang lain dengan beragam pendidikan (sarjana hukum yang pernah bekerja di law firm, sarjana teknik sipil yang berpengalaman di perusahaan konstruksi, atau ragam latar belakang lainnya) dan bahkan sama dengan mereka yang belum memiliki pengalaman bekerja atau fresh graduate.  Jadi dari awal terkesan memang proses seleksinya tidak secara khusus mencari sekumpulan ahli di bidang pekerjaan tertentu, tetapi mencari mereka yang memiliki potensi keunggulan pribadi yang memenuhi kriteria tertentu. Proses seleksi “generik” ini saya yakini sebagai proses awal untuk proses berikutnya yang berkaitan dengan pengembangan kompetensi keunggulan masing-masing PNS di penugasan nantinya.
 Setelah diangkat dan ditetapkan secara resmi sebagai PNS, maka bagi PNS yang ditugaskan sebagai guru, pemeriksa, widyaswara, peneliti, pustakawan, arsiparis, pranata komputer atau Jabatan Fungsional lainnya wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan ”pembentukan” serta serangkaian pengembangan kompetensi sesuai dengan jabatan fungsional tertentu tersebut.  Oleh karena itu saya meyakini bahwa jabatan fungsional adalah pilihan profesi sebagai PNS yang bisa membuat seseorang dapat diukur kadar profesionalismenya. 
Sayangnya pilihan ” profesi” atau jabatan fungsional PNS sampai dengan saat ini masih belum bisa menampung seluruh aktivitas PNS, sehingga kotak Jabatan Administrasi Umum, menjadi tempat bagi para PNS yang aktivitasnya tidak masuk dalam klasifikasi jabatan fungsional.  Bahkan beberapa PNS yang telah memiliki sertifikasi ahli pengadaan, bendahara pengeluaran, bendahara penerima, assesor, coach, dan jenis sertifikasi lainnya (yang bahkan diakui secara internasional) memilih mengembangkan kompetensi profesinya secara mandiri. 
Keputusan untuk “memilih” profesi diyakini bagi sebagian PNS tersebut sebagai “jalan hidup” selama berkarya sebagai PNS.  Tanpa pilihan profesi yang jelas, mereka merasa kehilangan makna.  Begitu pun bagi mereka yang kemudian dipercaya untuk memangku Jabatan Struktural.  Dinamisnya bongkar pasang jabatan struktural saat ini, membuat PNS harus siap lepas jabatan, sehingga sebagian dari mereka berpendapat ketika pun mereka harus mengalami hal tersebut, maka yang tersisa dari mereka sesungguhnya adalah sertifikasi profesi yang telah mereka miliki sebelumnya.  Oleh karena itu bagi mereka sungguh amat penting memiliki dan memelihara jalan hidup profesi yang telah dimilikinya.  
Sampai dengan proses berpikir ini, saya menjadi lebih percaya diri untuk menjawab pertanyaan anak saya sebelumnya…… Kalau mau jadi PNS harus jago apa yah?

  • Menjadi PNS harus mampu lulus ujian awal.
  • Setelah menjadi PNS baru memilih atau menentukan profesi dalam berkarya sebagai PNS
  • Pilihan profesi itu yang menentukan seorang PNS profesional atau tidak

Menjadi profesional memang lazimnya melalui saluran profesi karena kejelasan kompetensi teknis dan perilaku yang mengikat PNS yang bersangkutan dalam penugasannya.  Lalu apakah bagi mereka yang belum dapat mendefinisikan profesinya atau belum tersedia pilihan formal profesinya ketika menjadi PNS maka selamanya tidak akan menerima cap profesional?
Bahwa perdebatan stigma “bodoh-pintar, malas-rajin, bayarannya sama” yang melekat pada lingkungan birokrasi adalah hal yang tidak putus didiskusikan untuk menemukan formula yang dapat memenuhi rasa keadilan.  Saya khawatir profesionalitas PNS  dimaknai dengan rumus matematis korelasi antara jabatan, masa kerja, dan atribut lainnya dengan gaji, tunjangan dan unsur penghasilan lainnya.  Sehingga bekerjalah sesuai dengan rumus matematis itu maka Anda sudah profesional.  Begitupun ketika presensi kehadiran jam kerja (baik datang maupun pulang) selalu tepat waktu dimaknai sebagai sebuah prestasi kerja.  Bahkan tidak sedikit yang membanggakan kemampuan menyelesaikan pekerjaan sesuai target.  Bukankah kehadiran datang dan pulang tepat waktu (jam bekerja) serta menyelesaikan target pekerjaan sesungguhnya adalah pembuktian komitmen (bukan prestasi) Anda bekerja sebagai PNS?
Pertanyaan berikutnya yang ingin saya ajukan adalah : Bagaimana manfaat diri Anda sebagai PNS? Bukankah seringkali didengungkan PNS sebagai abdi masyarakat, aparat pelayanan publik? 
Tidak semua PNS, bahkan yang sudah menemukan profesinya dengan mudah menjawab pertanyaan ini.  Karena diluar atribut profesi yang melekat pada satus Anda sebagai PNS, sesungguhnya yang dipertanyakan adalah apa yang sudah Anda “perbuat” dan sudahkan dirasakan manfaatnya oleh publik?    
Pernahkah Anda mempertanyakan apakah selama bekerja :

  • Seberapa sering orang menyatakan kepuasan atas hasil kerja Anda, karena mungkin saja walau Anda sudah merasa mampu menyelesaikan banyak target pekerjaan, hasilnya belum berarti atau malah tidak memuaskan orang lain,
  • Seberapa banyak ide atau hal baru yang Anda kerjakan, karena siapa tahu Anda hanya baru menjalankan sesuatu yang biasa saja (business as usual), padahal masih banyak harapan orang yang belum terpenuhi,
  • Seberapa sering orang menyatakan terinspirasi dari hasil pekerjaan Anda, karena mungkin Anda baru bekerja untuk memuaskan kepentingan Anda sendiri, bagaimana tanggungjawab Anda secara sosial?,  
  • Seberapa sering hasil pekerjaan Anda menjadi rujukan bagi pihak lain.  Pernahkah Anda berpikir bahwa apa yang Anda lakukan bisa saja bermanfaat untuk skala yang lebih besar,
  • Seberapa nyaman orang bekerja dengan Anda, apakah Anda lebih mementingkan capaian individual, bagaimanakah tanggapan rekan-rekan yang lain terhadap kehadiran Anda,
  • Seberapa banyak rekan Anda (termasuk rekan senior) menaruh respek kepada Anda, apakah Anda selalu meminta atau menunggu dan mengikuti petunjuk dan arahan dari senior Anda.  Beranikah Anda untuk memulai tradisi kerja baru yang mungkin berbeda dengan kebiasaan selama ini dan membuktikan itu berhasil serta membuat rekan senior tidak merasa “dilangkahi”, 
  • Seberapa sering Anda dimintakan pendapat atau saran oleh rekan lain.  Apakah Anda lebih menyukai membangun zona nyaman bekerja dengan tenang dan sendiri, atau Anda memilih untuk menyediakan ruang berdiskusi dan memberikan pendapat yang banyak diapresiasi oleh rekan yang lain karena bermanfaat juga bagi mereka, 
  • Seberapa sering Anda membuat bahagia orang yang membutuhkan layanan dari pekerjaan Anda (karena merasa terbantu).  Apakah Anda lebih memilih untuk membantu permintaan yang sulit dari pengguna atau menyerahkannya kepada rekan lain?, 
Masih banyak pertanyaan lain yang bisa diajukan untuk meyakinkan diri sejauhmana manfaat diri Anda sebagai PNS.  Sehingga kita tidak perlu gundah ketika belum menemukan profesi diri kita sebagai PNS dan sebaliknya puas diri ketika sudah memiliki profesi tertentu sebagai PNS, karena pada akhirnya yang dipertanyakan adalah manfaat diri Anda sebagai PNS.  Oleh karena itu setiap PNS dengan penugasannya sebaiknya mendefinisikan peluang potensi manfaat yang bisa dieksploitasi dan mengaktualisasikannya sebagai pilihan peran.  Kecermatan dalam melihat peluang bermanfaat, sesuai potensi yang dimiliki, merupakan dimensi lain aplikasi thinking out of the box di lingkungan birokrasi atau sektor publik.  
Dengan demikian ukuran profesionalitas PNS tidak hanya selalu mengacu kepada kaidah profesi tertentu tetapi lebih penting adalah aktualisasi manfaat diri sesuai peran masing-masing.  Begitu pula bagi PNS yang diberikan kesempatan berperan dalam Jabatan Struktural untuk mengaktualisaikan kemampuan manajerialnya.  Hal pertama yang sebaiknya dipertanyakan kepada diri sendiri adalah manfaat diri apa yang bisa diberikan dibandingkan sebelum menduduki peran jabatan struktural tersebut.  Kalau Anda belum dapat membedakan manfaat diri Anda sebelum dan sesudah menduduki jabatan struktural tersebut, mudah untuk menyatakan bahwa Anda belum berkompeten menduduki jabatan tersebut dan itu jauh dari makna profesionalitas.
Pada akhirnya jika Manfaat Diri melalui peran masing-masing PNS menjadi saluran pembuktian profesionalitas PNS, maka sungguh menjadi kekuatan yang dahsyat ketika semua PNS “berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan” dan sesungguhnya itulah esensi makna ajakan Revolusi Mental yang digaungkan saat ini.  Oleh karena itu sekecil apa pun peran yang akan kita jalankan dan sesulit apapun kondisi lingkungan pekerjaan, jadikan itu peluang bagi diri kita untuk mengeluarkan potensi berpikir kreatif dan inovatif dalam menemukan makna diri kita sebagai PNS.  Tanpa memberikan manfaat diri sebetulnya kita akan melalui perjalanan kita sebagai PNS dengan tanpa makna, hanya atribut masa kerja, serangkaian pengalaman jabatan, tanda penghargaan, yang semuanya berlalu tanpa makna.  Saya tidak bisa membayangkan jika anak saya di kemudian hari bertanya lagi : apa yang membuat ayah bangga selama bekerja sebagai PNS?......