Monday, 15 February 2016

The Journey of Value Based Leadership

Kekuatan seorang value based leader terletak pada nilai diri yang dimanifestasikan dalam perbuatan. Dirinya selalu sadar tentang hal itu dan konsisten menjadikan “nilai” sebagai sudut pandang dalam segala hal termasuk pengambilan keputusan. Hal itu disebabkan individu-individu tersebut mampu memaknai perjalanan hidupnya. Dalam setiap “journey” yang dialaminya, ia tahu pelajaran apa yang harus diingat dan dimasukkan ke dalam alam bawah sadarnya, sehingga terkristalisasi dalam bentuk nilai yang merupakan ciri otentik dirinya dalam langkah kehidupan selanjutnya.

Skenario “journey” pembentukan karakter pemimpin yang dialami oleh tiap-tiap individu pastilah berbeda-beda. Namun, setidaknya kita dapat membuat suatu skenario “artificial journey” sebagai bentuk refleksi atas peristiwa yang pernah dialami dalam kehidupan banyak individu. Skenario tersebut merupakan skema experiential learning yang mengkondisikan setiap orang untuk mencatat serta memaknai berbagai bentuk peristiwa yang mungkin pernah dialami sebelumnya. Hal itu dimaksudkan agar setiap orang menyadari tentang hal apa saja yang dapat membawa dirinya menuju pribadi yang memiliki karakter pemimpin berbasis value, di antaranya yaitu:

1. Belajar dari sejarah: mengais hikmah keteledanan tokoh bangsa
Memahami tentang niai diri dapat diraih dengan cara menelusur kembali lorong waktu untuk mampu menemukan esensi nilai kepemimpinan dalam diri tokoh bangsa ketika melakukan perubahan.  Subtansi tersebut harus dibahas relevansinya dengan isu kekinian agar dipahami bagaimana para tokoh bangsa mampu tampil melakukan perubahan berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya. Visitasi ke situs-situs sejarah atau sarana yang menampilkan perjalanan sejarah kebangsaan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan “rasa” tentang perjuangan. Apalagi diikuti dengan diskusi tentang nilai dan teladan dari para tokoh tersebut, hal itu dapat membangkitkan emosi perjuangan yang mendorong kepada rasa ingin mengulangi kesuksesan proses perubahan dari keterjajahan menuju kepada kemerdekaan.
Di bawah matahari sejarah, peristiwa selalu berulang pada waktu dan tempat yang berbeda. Isu-isu keterjajahan saat itu, juga sebenarnya terjadi pada masa sekarang dengan bentuk dasar yang sebenarnya tidak jauh berbeda. Skemanya selalu sama, yaitu pemerasan sumber daya alam untuk dinikmati oleh bangsa penjajah dalam bentuk perniagaan yang tidak adil. Hanya saja, dahulu penjajah menggunakan senjata sebagai kekuatan, sekarang menggunakan hukum tata niaga dan arbritase internasional untuk menguasai sumber daya alam agar dapat dinikmati dengan tidak adil. Komoditasnya pun berbeda, dahulu bentuknya rempah-rempah sedangkan sekarang bentuknya minyak bumi dan bahan tambang.
Berlatar belakang ketidakadilan itulah, banyak tokoh bangsa tampil untuk membela rakyat Indonesia. Pangeran Diponegoro, Panglima Sudirman, HOS Cokroaminoto, dan Bung Tomo adalah sedikit dari sekian banyak figur yang tampil sebagai teladan dalam memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan bangsa. Oleh karena itu, seorang value based leader zaman sekarang juga harus mampu menampilkan nilai diri sebagaimana para tokoh bangsa kala itu.
Berguru kepada pejuang bangsa seharusnya juga dapat menciptakan pemahaman terhadap nilai-nilai yang sebenarnya terkandung dalam Pancasila karena nilai-nilai itu begitu wujud dalam diri mereka. Penelusuran lorong waktu akan merekonstruksi pemikiran kita terhadap Pancasila. Selama ini, kita mungkin merasakan aroma klise kala membicarakan Pancasila karena miskinnya sosok teladan yang dapat mewujudkan nilai-nilai itu dalam perbuatan. Atau karena selama ini kita memahami Pancasila secara kognitif sehingga kita kehilangan rasa pemahaman terhadap nilai-nilai hasil pemikiran para pendiri bangsa tersebut. Ketika kita sudah dapat merasakan agungnya nilai yang ada dalam Dasar Negara itu, maka sesungguhnya kita sudah memiliki bekal dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa saat ini. 

2. Memaknai integritas sebagai determinasi pemimpin dalam menciptakan inovasi yang bernilai manfaat bagi customer
Seorang value based leader harus mampu “menangkap” realitas sosial dalam praktek penyelenggaraan layanan kepada customer (dalam penyelenggaraan pemerintahan, tentulah masyarakat atau publik yang menjadi customer-nya). Seorang pemimpin harus memiliki sensitivitas untuk jujur, peduli  dan mampu berpikir jernih dalam menangkap realitas sosial yang dihadapinya. Ia juga harus mampu mengukur “kepantasan dan atau kepatutan” (bukan hanya sekadar kepatuhan) peran seorang pemimpin dalam melayani kepentingan publik.  Itulah wujud integritas seorang pemimpin. Segala keputusan yang diambil dan tindakan yang dilakukan selalu berpihak pada nilai-nilai universal dan selalu dimotivasi oleh keinginan untuk bermanfaat. Hal itu dapat mendorong seseorang untuk memiliki determinasi atau kesungguhan dalam mencari solusi terbaik hingga menghasilkan karya inovatif atas setiap realitas yang dihadapi.

3.  Memahami siapa customer serta mengasah kepedulian tentang ekspektasi dan masalah yang dihadapi customer
Seorang pemimpin harus mampu memaknai posisi dirinya sesuai jabatan yang diamanahkan kepadanya. Ia juga harus mampu memainkan peran sebagai agen perubahan sesuai level kewenangannya tanpa membatasi nilai manfaat dan dampak perubahan yang akan dijalankan. Kepahaman atas kewenangan dan tanggung jawab akan menyadarkan seorang leader akan siapa sebenarnya customer atau orang-orang yang menjadi urusannya. Kepahaman itulah yang kemudian menjadi dasar untuk mengembangkan kepedulian tentang ekspektasi dan masalah apa yang dihadapi customer. Seorang value based leader tentunya akan selalu tertantang untuk dapat mewujudkan manfaat dirinya dalam menyelesaikan problematika yang dihadapi customer-nya itu. Dalam dirinya, bahagia adalah keadaan ketika ia sanggup untuk mewujudkan harapan atau membantu menuntaskan masalah orang lain.

4. Meningkatkan kepedulian terhadap spiritualitas dan etika sebagai rentang toleransi dalam Inovasi
Kapasitas diri seorang value based leader berikutnya adalah kepedulian terhadap spiritualitas dan etika sebagai rentang toleransi dalam inovasi. Kapasitas ini merupakan pendalaman dari proses journey sebelumnya, yaitu pengukuran “kepantasan dan atau kepatutan” (bukan hanya sekadar kepatuhan) peran value based leader dalam melayani kepentingan publik.
Seorang leader harus mampu menentukan langkah paling tepat dari berbagai pilihan cara berinovasi tanpa harus melanggar nilai spitualitas dan etika. Semangat ingin bermanfaat kadang membuat seseorang terjebak ke dalam kondisi yang “tidak patut”atau bahkan “tidak patuh”. Agama apapun tentu melarang perbuatan yang merugikan orang lain atau merugikan negara. Keinginan menolong sesama ala Robin Hood barang tentu sudah tidak tepat lagi dilakukan di masa sekarang. Karena itu, keluwesan menyelaraskan inovasi dengan nilai etika merupakan tantangan tersendiri bagi seorang leader dalam melakukan perubahan.

5. Mengasah kemampuan teknik diagnostic reading: mempertajam skill analisis situasi dalam rangka meningkatkan kepedulian kepada customer
Seorang leader yang memiliki keyakinan tentang nilai manfaat diri harus mampu men-deliver nilai tersebut kepada customer. Nilai yang di-deliver akan berwujud solusi yang ditawarkan untuk memecahkan persoalan atau memenuhi harapan customer. Oleh karena itu, seorang value based leader harus mampu mengasah teknik analisi situasi yang disebut dengan diagnostic reading. Sebagai contoh, apabila customer merasa pelayanan yang diterimanya sekarang lambat dan berbelit-belit, maka nilai atau value yang ditawarkan sebagai solusi atas masalah tersebut seharusnya berupa kecepatan layanan.
Langkah selanjutnya menuju penemuan solusi kreatif atas masalah customer tersebut adalah memilah symptoms dan kemudian menemukan akar dari masalah itu sendiri. Jika mengacu kepada contoh lambatnya pelayanan, maka langkah yang harus dilakukan adalah menemukan penyebab utama dari masalah tersebut. Jika sudah berhasil dianalisis, maka akan memudahkan langkah selanjutnya, yaitu menentukan cara yang paling tepat untuk mempercepat proses pelayanan. Pada umumnya kategori cara itu akan mengerucut pada perbaikan salah satu atau lebih dari aspek equipment, people, policy, dan procedure.
Pada akhirnya, proses diagnostic reading akan menghasilkan formula “value + cara”. Jika value yang ditawarkan adalah kecepatan layanan, maka alternatif cara yang dapat ditempuh untuk mewujudkan hal tersebut adalah inovasi dalam bentuk:

  • Pengadaan atau modernisasi peralatan dan sistem informasi (equipment);
  • Peningkatan kapabilitas personil (people);
  • Perumusan kebijakan yang memayungi pelaksanaan aktivitas (policy); atau
  • Perbaikan atau penyederhanaan cara atau prosedur pelayanan yang lebih bersahabat dengan customer (procedure).

6. Belajar menggunakan kanvas inovasi: “helicopter view” seorang pemimpin dalam membumikan idealisme langit menjadi rencana kerja operasional
Seorang leader harus memiliki “helicopter view” dalam mewujudkan solusi kreatif atas ekspektasi dan masalah yang dihadapi customer-nya.  Ia harus mampu menggambarkan bagaimana idealismenya yang diilhami dari nilai-nilai universal (nilai-nilai ketuhanan) dapat diwujudkan dalam rencana kerja yang mudah untuk dioperasionalisasikan. Untuk itu, ia harus menguasai tools yang dapat digunakan untuk merealisasikan hal itu, yaitu kanvas inovasi atau canvas model. Kanvas inovasi merupakan bangunan ide yang terdiri atas 9 building blocks. Sisi kanan berisi 5 blok (customer, value, benefit and revenue, channel, dan customer relationship) yang merupakan gambaran idealisme. Sisi kiri terdiri atas 4 blok (key activities, key partner, key resources, dan cost structure) yang merupakan komponen operasionalisasi dari ide  yang ada di sisi sebelah kanan.

Kanvas inovasi yang digunakan oleh seorang value based leader merupakan modifikasi dari business canvas model yang dikembangkan untuk pengembangan strategi bisnis di sektor privat. Perbedaannya terletak pada blok revenue and benefit. Dalam versi business model, benefit yang diharapkan tentu berupa revenue stream atau keuntungan yang dapat diraih oleh inovator itu sendiri. Sudut pandang itulah yang berbeda bagi seorang value based leader. Keinginan untuk bermanfaat bagi orang lain dapat diwujudkan dengan mengubah persepsi keuntungan pribadi menjadi manfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, tujuan akhir dari inovasi yang dilakukannya (benefit) selalu berorientasi pada organisasi dan customer.

7. Mengenal potensi diri dalam rangka mencapai level kreativitas yang optimal dan menjadi pemimpin yang otentik
Setelah melalui rangkaian proses journey untuk mengenali potensi “di luar” diri dalam mengelola perubahan, maka aktivitas berikutnya bagi value based leader adalah merenungkan potensi diri. Melalui pendekatan model psikologis, seorang leader harus menemukan karakter khas dengan melakukan proses pengenalan potensi diri. Hal ini penting karena salah satu prinsip dasar pengelolaan perubahan adalah kemampuan merubah diri sebelum mengajak orang lain berubah. Oleh karena itu, ia harus mengenal siapa dirinya, apa yang ia ketahui dan tidak ketahui tentang dirinya (Johari Windows).
Dengan mengetahui potensi terbaik yang ada dalam dirinya, seorang pemimpin dapat dengan mudah menentukan langkah dalam rangka mencapai level kreativitas yang optimal. Selain itu, ia juga dapat mengetahui model kepemimpinan apa yang paling otentik khususnya dari perspektif para stakeholder dan/atau tim yang akan dilibatkan dalam proyek perubahan.

8. Melatih kecerdasan emosional dalam berinteraksi dengan berbagai pihak yang berkepentingan.
Seorang leader harus mampu mengelola kecerdasan emosional, khususnya ketika ia berinteraksi dengan para stakeholders-nya. Ia harus berlatih mengembangkan sikap dan perilaku yang produktif untuk dapat “tahan banting” dan mampu ”melejit” dalam menghadapi segala tantangan dan kesulitan yang mungkin akan dihadapi. Dalam dunia nyata, perancangan dan implementasi value based dalam aktivitas organisasi kerap menghadapi tantangan yang tidak ringan. Pengubahan cara pandang orang-orang dalam organisasi menuju perspektif customer sering difahami sebagai ancaman atas kenyamanan sebuah “status quo”. Oleh karena itu, ia harus selalu mampu memilah respon terbaik atas aksi stakeholders yang mungkin tidak diharapkan ketika melakukan suatu “proyek perubahan”.

9.  Membangun sinergi
Seorang leader harus mampu membangun sinergi dengan berbagai pihak. Membangun tim efektif, melakukan koordinasi dan kolaborasi, serta membangun budaya organisasi yang kondusif merupakan faktor-faktor penting yang harus diciptakan seorang leader.
Seorang leader harus memiliki pemahaman yang komprehensif tentang profil susunan tim yang akan diajak untuk membuat suatu proyek perubahan. Pemahaman tersebut diperlukan pemimpin untuk menyusun peta stakeholders, sehingga ia dapat menjawab pertanyaan bagaimana mengelolanya agar efektif. Ia harus mampu menganalisa profil semua stakeholders agar dapat menetapkan pilihan strategi yang tepat dalam mengelola tim perubahannya.
Problem klasik terkait komunikasi antar lini organisasi di lingkungan birokrasi selalu menjadi masalah utama suskesnya suatu program atau kegiatan. Untuk itu, seorang leader harus mengasah kemampuan teknik koordinasi dan kolaborasi, baik dengan rekan sejawat maupun dengan rekan di luar unit kerjanya. Ia harus mampu merumuskan solusi pilihan teknik komunikasi yang bersifat koordinatif dan kemampuan untuk melihat celah berkolaborasi dengan unit kerja lain untuk menciptakan sinergi dalam pengelolaan proyek perubahan.
Bagi seorang leader, kedua kompetensi tersebut diukur dari keberhasilannya dalam memobilisasi dukungan. Praktek bekerja secara sendiri relatif dapat dipastikan tidak akan mampu mendongkrak kinerja perubahan. Karena itu, bekerja dengan orang lain merupakan poin penting yang tidak dapat diabaikan. Seorang leader harus mampu mengembangkan kemampuan memilih strategi inovatif “working with other people” agar perubahan yang dilakukan dirasakan sebagai karya bersama termasuk dalam proses maintenance dan development nantinya. Dengan demikian, salah satu indikator keberhasilan seorang pemimpin adalah ketika mampu menggerakkan secara sinergis beberapa level operasional untuk menciptakan nilai tambah perbaikan layanan publik.  Pergerakan tersebut harus diikat dalam kesatuan tema agenda proyek perubahan pada level organisasi, sehingga harus dipastikan apakah berjalan berkesinambungan untuk menjadi sebuah budaya kerja yang lebih baik.

10. Benchmarking: Belajar dengan mengalami
Sebagai sebuah experiential learning, journey of value based leadership memerlukan fase pembelajaran dengan cara mengalami langsung success story implementasi inovasi berbasis nilai yang telah dilakukan. Oleh karena itu, penting juga bagi seorang leader untuk melakukan benchmarking ke best practice agar dapat melihat secara langsung karya-karya inovasi berbasis nilai yang telah dihadirkan dalam dunia nyata. Ia harus menyaksikan realita pengelolaan perubahan secara komprehensif dan mencoba mempelajarinya dengan melihat, mendengar, merasakan, dan terlibat dalam proyek perubahan yang dilaksanakan di obyek yang dikunjungi. Lalu, ia harus mencoba mendefinisikan aktualisasi nilai kepemimpinan, kepedulian terhadap masalah publik, pilihan strategi inovatif, proses pengelolaan perubahan secara berkesinambungan, serta dampak yang dirasakan oleh masyarakat pengguna layanan.
Pada akhirnya, ia dapat mengambil leason learnt untuk membaca peluang adopsi dari praktek yang ada di obyek visitasi untuk penerapan  subtansi proyek perubahan di organisasi yang ia pimpin.  

11. Proyek Perubahan Berbasis Value: Sebuah Aktualisasi Value Based Leader.
Setelah mengalami proses journey, akhirnya seorang value based leader harus mampu mengaplikasikan seluruh kompetensinya dengan membuat rancangan proyek perubahan. Proyek ini merupakan wujud nyata operasionalisasi dari sebuah idealisme, sehingga proyek yang dirancang haruslah proyek yang berbasis nilai manfaat bagi customer. Value based project ini merupakan pendekatan baru yang menggeser paradigma yang banyak dijumpai saat ini, yaitu activity based project. Output kunci yang menjadi target utama value based project tidaklah sekedar bagaimana suatu project bisa berjalan, tetapi harus sampai kepada penciptaan value yang diinginkan. Seorang leader harus mampu untuk terus me-maintain kondisi tercipta dan ter-deliver-nya value tersebut kepada customer, sehingga mendorong terciptanya outcome berupa manfaat bagi customer. Untuk itu, ia harus juga mampu menerapkan strategi marketing sektor publik  yang tepat dalam menjual ide perubahan agar dapat diterima oleh semua stakeholders.

No comments:

Post a Comment