Kekuatan
seorang value based leader terletak
pada nilai diri yang dimanifestasikan dalam perbuatan. Dirinya selalu sadar
tentang hal itu dan konsisten menjadikan “nilai” sebagai sudut pandang dalam
segala hal termasuk pengambilan keputusan. Hal itu disebabkan individu-individu
tersebut mampu memaknai perjalanan hidupnya. Dalam setiap “journey” yang dialaminya, ia tahu pelajaran apa yang harus diingat
dan dimasukkan ke dalam alam bawah sadarnya, sehingga terkristalisasi dalam
bentuk nilai yang merupakan ciri otentik dirinya dalam langkah kehidupan
selanjutnya.
Skenario “journey”
pembentukan karakter pemimpin yang dialami oleh tiap-tiap individu pastilah
berbeda-beda. Namun, setidaknya kita dapat membuat suatu skenario “artificial journey” sebagai bentuk refleksi
atas peristiwa yang pernah dialami dalam kehidupan banyak individu. Skenario tersebut
merupakan skema experiential learning
yang mengkondisikan setiap orang untuk mencatat serta memaknai berbagai bentuk peristiwa
yang mungkin pernah dialami sebelumnya. Hal itu dimaksudkan agar setiap orang
menyadari tentang hal apa saja yang dapat membawa dirinya menuju pribadi yang
memiliki karakter pemimpin berbasis value,
di antaranya yaitu:
1. Belajar
dari sejarah: mengais hikmah keteledanan tokoh bangsa
Memahami
tentang niai diri dapat diraih dengan cara menelusur kembali lorong waktu untuk
mampu menemukan esensi nilai kepemimpinan dalam diri tokoh bangsa ketika melakukan
perubahan. Subtansi tersebut harus
dibahas relevansinya dengan isu kekinian agar dipahami bagaimana para tokoh
bangsa mampu tampil melakukan perubahan berdasarkan nilai-nilai yang
diyakininya. Visitasi ke situs-situs sejarah atau sarana yang menampilkan
perjalanan sejarah kebangsaan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan
“rasa” tentang perjuangan. Apalagi diikuti dengan diskusi tentang nilai dan
teladan dari para tokoh tersebut, hal itu dapat membangkitkan emosi perjuangan
yang mendorong kepada rasa ingin mengulangi kesuksesan proses perubahan dari
keterjajahan menuju kepada kemerdekaan.
Di bawah
matahari sejarah, peristiwa selalu berulang pada waktu dan tempat yang berbeda.
Isu-isu keterjajahan saat itu, juga sebenarnya terjadi pada masa sekarang
dengan bentuk dasar yang sebenarnya tidak jauh berbeda. Skemanya selalu sama,
yaitu pemerasan sumber daya alam untuk dinikmati oleh bangsa penjajah dalam
bentuk perniagaan yang tidak adil. Hanya saja, dahulu penjajah menggunakan
senjata sebagai kekuatan, sekarang menggunakan hukum tata niaga dan arbritase
internasional untuk menguasai sumber daya alam agar dapat dinikmati dengan
tidak adil. Komoditasnya pun berbeda, dahulu bentuknya rempah-rempah sedangkan sekarang
bentuknya minyak bumi dan bahan tambang.
Berlatar
belakang ketidakadilan itulah, banyak tokoh bangsa tampil untuk membela rakyat
Indonesia. Pangeran Diponegoro, Panglima Sudirman, HOS Cokroaminoto, dan Bung
Tomo adalah sedikit dari sekian banyak figur yang tampil sebagai teladan dalam
memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan bangsa. Oleh karena itu, seorang value based leader zaman sekarang juga
harus mampu menampilkan nilai diri sebagaimana para tokoh bangsa kala itu.
Berguru
kepada pejuang bangsa seharusnya juga dapat menciptakan pemahaman terhadap
nilai-nilai yang sebenarnya terkandung dalam Pancasila karena nilai-nilai itu
begitu wujud dalam diri mereka. Penelusuran lorong waktu akan merekonstruksi
pemikiran kita terhadap Pancasila. Selama ini, kita mungkin merasakan aroma
klise kala membicarakan Pancasila karena miskinnya sosok teladan yang dapat mewujudkan
nilai-nilai itu dalam perbuatan. Atau karena selama ini kita memahami Pancasila
secara kognitif sehingga kita kehilangan rasa pemahaman terhadap nilai-nilai
hasil pemikiran para pendiri bangsa tersebut. Ketika kita sudah dapat merasakan
agungnya nilai yang ada dalam Dasar Negara itu, maka sesungguhnya kita sudah
memiliki bekal dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa saat ini.
2. Memaknai integritas
sebagai determinasi pemimpin dalam menciptakan inovasi yang bernilai manfaat bagi
customer
Seorang value based leader harus mampu
“menangkap” realitas sosial dalam praktek penyelenggaraan layanan kepada customer (dalam penyelenggaraan
pemerintahan, tentulah masyarakat atau publik yang menjadi customer-nya). Seorang pemimpin harus memiliki sensitivitas untuk
jujur, peduli dan mampu berpikir jernih
dalam menangkap realitas sosial yang dihadapinya. Ia juga harus mampu mengukur
“kepantasan dan atau kepatutan” (bukan hanya sekadar kepatuhan) peran seorang
pemimpin dalam melayani kepentingan publik.
Itulah wujud integritas seorang pemimpin. Segala keputusan yang diambil
dan tindakan yang dilakukan selalu berpihak pada nilai-nilai universal dan
selalu dimotivasi oleh keinginan untuk bermanfaat. Hal itu dapat mendorong
seseorang untuk memiliki determinasi atau kesungguhan dalam mencari solusi
terbaik hingga menghasilkan karya inovatif atas setiap realitas yang dihadapi.
3. Memahami siapa customer serta mengasah kepedulian
tentang ekspektasi dan masalah yang dihadapi customer
Seorang
pemimpin harus mampu memaknai posisi dirinya sesuai jabatan yang diamanahkan
kepadanya. Ia juga harus mampu memainkan peran sebagai agen perubahan sesuai
level kewenangannya tanpa membatasi nilai manfaat dan dampak perubahan yang
akan dijalankan. Kepahaman atas kewenangan dan tanggung jawab akan menyadarkan
seorang leader akan siapa sebenarnya customer atau orang-orang yang menjadi
urusannya. Kepahaman itulah yang kemudian menjadi dasar untuk mengembangkan
kepedulian tentang ekspektasi dan masalah apa yang dihadapi customer. Seorang value based leader tentunya akan selalu tertantang untuk dapat
mewujudkan manfaat dirinya dalam menyelesaikan problematika yang dihadapi customer-nya itu. Dalam dirinya, bahagia
adalah keadaan ketika ia sanggup untuk mewujudkan harapan atau membantu menuntaskan
masalah orang lain.
4. Meningkatkan
kepedulian terhadap spiritualitas dan etika sebagai rentang toleransi dalam
Inovasi
Kapasitas
diri seorang value based leader
berikutnya adalah kepedulian terhadap spiritualitas dan etika sebagai rentang
toleransi dalam inovasi. Kapasitas ini merupakan pendalaman dari proses journey sebelumnya, yaitu pengukuran
“kepantasan dan atau kepatutan” (bukan hanya sekadar kepatuhan) peran value based leader dalam melayani
kepentingan publik.
Seorang
leader harus mampu menentukan langkah paling tepat dari berbagai pilihan cara berinovasi
tanpa harus melanggar nilai spitualitas dan etika. Semangat ingin bermanfaat
kadang membuat seseorang terjebak ke dalam kondisi yang “tidak patut”atau
bahkan “tidak patuh”. Agama apapun tentu melarang perbuatan yang merugikan
orang lain atau merugikan negara. Keinginan menolong sesama ala Robin Hood barang tentu sudah tidak tepat lagi
dilakukan di masa sekarang. Karena itu, keluwesan menyelaraskan inovasi dengan
nilai etika merupakan tantangan tersendiri bagi seorang leader dalam melakukan perubahan.
5. Mengasah kemampuan
teknik diagnostic reading: mempertajam skill
analisis situasi dalam rangka meningkatkan kepedulian kepada customer
Seorang leader yang memiliki keyakinan tentang
nilai manfaat diri harus mampu men-deliver
nilai tersebut kepada customer. Nilai
yang di-deliver akan berwujud solusi
yang ditawarkan untuk memecahkan persoalan atau memenuhi harapan customer. Oleh karena itu, seorang value based leader harus mampu mengasah teknik analisi situasi yang
disebut dengan diagnostic reading. Sebagai
contoh, apabila customer merasa
pelayanan yang diterimanya sekarang lambat dan berbelit-belit, maka nilai atau value yang ditawarkan sebagai solusi
atas masalah tersebut seharusnya berupa kecepatan layanan.
Langkah selanjutnya
menuju penemuan solusi kreatif atas masalah customer
tersebut adalah memilah symptoms dan kemudian menemukan akar dari masalah itu
sendiri. Jika mengacu kepada contoh lambatnya pelayanan, maka langkah yang
harus dilakukan adalah menemukan penyebab utama dari masalah tersebut. Jika
sudah berhasil dianalisis, maka akan memudahkan langkah selanjutnya, yaitu
menentukan cara yang paling tepat untuk mempercepat proses pelayanan. Pada
umumnya kategori cara itu akan mengerucut pada perbaikan salah satu atau lebih
dari aspek equipment, people, policy, dan procedure.
Pada
akhirnya, proses diagnostic reading
akan menghasilkan formula “value + cara”. Jika value yang ditawarkan adalah kecepatan layanan, maka alternatif
cara yang dapat ditempuh untuk mewujudkan hal tersebut adalah inovasi dalam
bentuk:
- Pengadaan atau modernisasi peralatan dan sistem informasi (equipment);
- Peningkatan kapabilitas personil (people);
- Perumusan kebijakan yang memayungi pelaksanaan aktivitas (policy); atau
- Perbaikan atau penyederhanaan cara atau prosedur pelayanan yang lebih bersahabat dengan customer (procedure).
6. Belajar menggunakan
kanvas inovasi: “helicopter view”
seorang pemimpin dalam membumikan idealisme langit menjadi rencana kerja
operasional
Seorang leader harus memiliki “helicopter view” dalam mewujudkan solusi
kreatif atas ekspektasi dan masalah yang dihadapi customer-nya. Ia harus mampu
menggambarkan bagaimana idealismenya yang diilhami dari nilai-nilai universal
(nilai-nilai ketuhanan) dapat diwujudkan dalam rencana kerja yang mudah untuk
dioperasionalisasikan. Untuk itu, ia harus menguasai tools yang dapat digunakan
untuk merealisasikan hal itu, yaitu kanvas inovasi atau canvas model. Kanvas inovasi merupakan bangunan ide yang terdiri
atas 9 building blocks. Sisi kanan
berisi 5 blok (customer, value, benefit and revenue, channel,
dan customer relationship) yang
merupakan gambaran idealisme. Sisi kiri terdiri atas 4 blok (key activities, key partner, key resources,
dan cost structure) yang merupakan
komponen operasionalisasi dari ide yang
ada di sisi sebelah kanan.
Kanvas
inovasi yang digunakan oleh seorang value
based leader merupakan modifikasi dari business
canvas model yang dikembangkan untuk pengembangan strategi bisnis di sektor
privat. Perbedaannya terletak pada blok revenue
and benefit. Dalam versi business
model, benefit yang diharapkan
tentu berupa revenue stream atau
keuntungan yang dapat diraih oleh inovator itu sendiri. Sudut pandang itulah
yang berbeda bagi seorang value based
leader. Keinginan untuk bermanfaat bagi orang lain dapat diwujudkan dengan
mengubah persepsi keuntungan pribadi menjadi manfaat bagi orang lain. Oleh
karena itu, tujuan akhir dari inovasi yang dilakukannya (benefit) selalu berorientasi pada organisasi dan customer.
7. Mengenal potensi diri
dalam rangka mencapai level kreativitas yang optimal dan menjadi pemimpin yang
otentik
Setelah
melalui rangkaian proses journey untuk
mengenali potensi “di luar” diri dalam mengelola perubahan, maka aktivitas
berikutnya bagi value based leader
adalah merenungkan potensi diri. Melalui pendekatan model psikologis, seorang leader harus menemukan karakter khas
dengan melakukan proses pengenalan potensi diri. Hal ini penting karena
salah satu prinsip dasar pengelolaan perubahan adalah kemampuan merubah diri
sebelum mengajak orang lain berubah. Oleh karena itu, ia harus mengenal siapa dirinya,
apa yang ia ketahui dan tidak ketahui tentang dirinya (Johari Windows).
Dengan
mengetahui potensi terbaik yang ada dalam dirinya, seorang pemimpin dapat
dengan mudah menentukan langkah dalam rangka mencapai level kreativitas yang
optimal. Selain itu, ia juga dapat mengetahui model kepemimpinan apa yang
paling otentik khususnya dari perspektif para stakeholder dan/atau tim yang akan dilibatkan dalam proyek
perubahan.
8. Melatih kecerdasan emosional
dalam berinteraksi dengan berbagai pihak yang berkepentingan.
Seorang
leader harus mampu mengelola kecerdasan emosional, khususnya ketika ia
berinteraksi dengan para stakeholders-nya.
Ia harus berlatih mengembangkan sikap dan perilaku yang produktif untuk dapat
“tahan banting” dan mampu ”melejit” dalam menghadapi segala tantangan dan
kesulitan yang mungkin akan dihadapi. Dalam dunia nyata, perancangan dan
implementasi value based dalam aktivitas organisasi kerap menghadapi tantangan
yang tidak ringan. Pengubahan cara pandang orang-orang dalam organisasi menuju
perspektif customer sering difahami
sebagai ancaman atas kenyamanan sebuah “status quo”. Oleh karena itu, ia harus
selalu mampu memilah respon terbaik atas aksi stakeholders yang mungkin tidak diharapkan ketika melakukan suatu
“proyek perubahan”.
9. Membangun sinergi
Seorang
leader harus mampu membangun sinergi dengan berbagai pihak. Membangun tim
efektif, melakukan koordinasi dan kolaborasi, serta membangun budaya organisasi
yang kondusif merupakan faktor-faktor penting yang harus diciptakan seorang
leader.
Seorang leader harus memiliki pemahaman yang
komprehensif tentang profil susunan tim yang akan diajak untuk membuat suatu proyek
perubahan. Pemahaman tersebut diperlukan pemimpin untuk menyusun peta stakeholders, sehingga ia dapat menjawab
pertanyaan bagaimana mengelolanya agar efektif. Ia harus mampu menganalisa profil
semua stakeholders agar dapat menetapkan
pilihan strategi yang tepat dalam mengelola tim perubahannya.
Problem
klasik terkait komunikasi antar lini organisasi di lingkungan birokrasi selalu menjadi
masalah utama suskesnya suatu program atau kegiatan. Untuk itu, seorang leader
harus mengasah kemampuan teknik koordinasi dan kolaborasi, baik dengan rekan
sejawat maupun dengan rekan di luar unit kerjanya. Ia harus mampu merumuskan solusi
pilihan teknik komunikasi yang bersifat koordinatif dan kemampuan untuk melihat
celah berkolaborasi dengan unit kerja lain untuk menciptakan sinergi dalam
pengelolaan proyek perubahan.
Bagi seorang leader, kedua kompetensi tersebut diukur
dari keberhasilannya dalam memobilisasi dukungan. Praktek bekerja secara
sendiri relatif dapat dipastikan tidak akan mampu mendongkrak kinerja
perubahan. Karena itu, bekerja dengan orang lain merupakan poin penting yang
tidak dapat diabaikan. Seorang leader
harus mampu mengembangkan kemampuan memilih strategi inovatif “working with other people” agar perubahan
yang dilakukan dirasakan sebagai karya bersama termasuk dalam proses maintenance dan development nantinya. Dengan demikian, salah satu indikator
keberhasilan seorang pemimpin adalah ketika mampu menggerakkan secara sinergis
beberapa level operasional untuk menciptakan nilai tambah perbaikan layanan publik.
Pergerakan tersebut harus diikat dalam
kesatuan tema agenda proyek perubahan pada level organisasi, sehingga harus dipastikan
apakah berjalan berkesinambungan untuk menjadi sebuah budaya kerja yang lebih
baik.
10. Benchmarking: Belajar
dengan mengalami
Sebagai
sebuah experiential learning, journey of value based leadership memerlukan
fase pembelajaran dengan cara mengalami langsung success story implementasi inovasi berbasis nilai yang telah
dilakukan. Oleh karena itu, penting juga bagi seorang leader untuk melakukan benchmarking ke best practice agar dapat melihat secara langsung karya-karya inovasi
berbasis nilai yang telah dihadirkan dalam dunia nyata. Ia harus menyaksikan realita
pengelolaan perubahan secara komprehensif dan mencoba mempelajarinya dengan
melihat, mendengar, merasakan, dan terlibat dalam proyek perubahan yang
dilaksanakan di obyek yang dikunjungi. Lalu, ia harus mencoba mendefinisikan
aktualisasi nilai kepemimpinan, kepedulian terhadap masalah publik, pilihan
strategi inovatif, proses pengelolaan perubahan secara berkesinambungan, serta
dampak yang dirasakan oleh masyarakat pengguna layanan.
Pada akhirnya,
ia dapat mengambil leason learnt
untuk membaca peluang adopsi dari praktek yang ada di obyek visitasi untuk
penerapan subtansi proyek perubahan di organisasi
yang ia pimpin.
11. Proyek Perubahan
Berbasis Value: Sebuah Aktualisasi Value Based Leader.
Setelah
mengalami proses journey, akhirnya
seorang value based leader harus mampu
mengaplikasikan seluruh kompetensinya dengan membuat rancangan proyek perubahan.
Proyek ini merupakan wujud nyata operasionalisasi dari sebuah idealisme,
sehingga proyek yang dirancang haruslah proyek yang berbasis nilai manfaat bagi
customer. Value based project ini merupakan pendekatan baru yang menggeser paradigma
yang banyak dijumpai saat ini, yaitu activity
based project. Output kunci yang menjadi target utama value based project tidaklah sekedar bagaimana suatu project bisa berjalan, tetapi harus
sampai kepada penciptaan value yang
diinginkan. Seorang leader harus mampu untuk terus me-maintain kondisi tercipta dan ter-deliver-nya value
tersebut kepada customer, sehingga mendorong
terciptanya outcome berupa manfaat bagi customer.
Untuk itu, ia harus juga mampu menerapkan strategi marketing sektor publik yang tepat dalam menjual ide perubahan agar
dapat diterima oleh semua stakeholders.